PROPOSAL
STRATEGI PEMASARAN TANAMAN CABAI DI
KECAMATAN MALANGKE
PRODRAM STUDI
AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agropolitan merupakan
kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian
terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang
merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu
pembangunan pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan
agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan
didukung dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan
industri pengolahnya. Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk
mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing,
berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digunakan dan
difasilitasi oleh pemerintah.
Kawasan pengembangan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah
antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah
produsen sebagai pusat kegiatan pertanian (yang tertinggal). Wilayah desa
dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivas
yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah
perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima bahan berlebih,
sehingga untuk mengatasi kesenjangan ini perlu adanya strategi pengembangan
wilayah agropolitan.
Pembangunan sektor
pertanian sekarang adalah sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini
di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, dapat memberi
dampak-dampak negatif terhadap
pembangunan nasional secara keseluruhannya, yaitu terjadinya kesenjangan yang
semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok antara lain mengenai tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan yang
rentan terhadap setiap goncangan yang
menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara
berulang-ulang.
Akibat kemiskinan dan kurangnya lapangan kerja maka masyarakat desa
secara nasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Meskipun
tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan
pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah
penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam
masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga dapat menimbulkan
pencemaran, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan yang pada
gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.
Dalam Undang-undang No.
24/1992 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa kawasan desa adalah kawasan fungsional dengan ini
kegiatan utama desa adalah sektor
pertanian. Oleh sebab itu, strategi
pembangunan harus mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan.Pengembangan
agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan
hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala
kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar.
Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan
antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk
menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas
yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi pemukiman di desa yang umumnya mempunyai
tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar.
Investasi dalam
bentuk infrastruktur yang menghubungkan lokasi-lokasi
pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk
menghubungkan antara wilayah desa dengan
pusat kota. Perhatian perlu diberikan khususnya terhadap penyediaan air,
perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk
meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja.
Disamping itu juga perlu diberikan kesempatan kerja di luar sektor
produksi pertanian (off farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di
kota-kota kecil menengah di wilayah desayang bertujuan untuk mencegah orang
melakukan migrasi keluar wilayah.Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan
dan bahan mentah, kawasan produsen adalah konsumen bagi produk sarana produksi
pertanian,produk investasi dan jasa produksi dan sekaligus sebagai pemasok
bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir.
Cabang kegiatan ekonomi
lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor ulu), sektor
pertanian produsen seharusnya terikat
erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif
agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian,
perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan
pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan
alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian, asuransi, agen periklanan, mass-media
pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian. Melihat keadaan di atas perlu
diteliti seberapa jauh peranan agropolitan terhadap analisis usaha
tani cabai merah di Kabupaten Malangke.
Periode tahun 2004 sampai
2007 memperlihatkan bahwa produksi tanaman hortikultura khususnya sayuran
mencapai produksi 0,47% dan 9,06 ribu ton di tahun 2004 menjadi 9,10 ribu ton
di tahun 2005, kemudian meningkat lagi menjadi 9,53 ribu ton di tahun 2006
(4,69%) dan 9,94 ribu ton (4,34%). Peningkatan angka-angka produksi tersebut
menunjukkan bahwa komoditas hortikultura dapat menjadi salah satu sumber
pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian (Deptan, 2007).
Cabai merah merupakan salah
satu komoditi hortikultura yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Di Kecamatan Malangke cabai merah merupakan komoditi unggulan dan
harganya mengalami naik turun. Walaupun harganya mengalami perubahan tetapi
permintaan akan cabai semakin meningkat terutama untuk perusahaan-perusahaan
makanan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka
masalah yang timbul dalam penelitian ini yaitu :
1.
Bagaimana
aspek pemasaran cabai merah di Kecamatan Malangke
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengkaji aspek pemasaran cabai merah di
kawasan agropolitan Kecamatan Malangke.
1.4 Kegunaan
Hasil Penelitian
1. Bagi petani sebagai pelaku utama :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan bahan
pertimbangan dalam usahatani cabai.
2. Bagi Dinas/ Instansi Urusan Pangan
diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan teknis yang
berkenaan dengan pengembangan usahatani cabai.
3. Bagi pihak yang berkompeten :
diharapkan dapat menjadi informasi dalam membangun koordinasi yang harmonis
dalam kaitannya dengan pengembangan usaha tani cabai.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Strategi Pengembangan Kawasan
Agropolitan
Konsep pengembangan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah
antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang
tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada
dalam posisi saling memperlemah. Wilayah
pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian,
mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan, di
sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima
beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat
permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan
lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman).
Hubungan yang saling
memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak kepada
penurunan produktivitas wilayah.Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat
pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect) tetapi justru
menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash
effect). Urban bisa terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan
pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal
terjadinya penetesan (trickle down
effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah 13 hinterland-nya,
ternyata net-effect-nya malah
menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain
dalam ekonomi telah terjadi transfer
neto sumberdaya dari wilayah perdesaan
ke kawasan perkotaan secara besar-besaran (Departemen Pertanian, 2004).
Menurut Rustiadi dan
Hadi (2004) Strategi pembangunan
wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan
disparitas pembangunan wilayah antara lain :
a.
Secara
nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan KTI.
b.
Percepatan
pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif
tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti :
(1) Kawasan Andalan (Kadal);
(2) Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu
(Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap Propinsi.
c. Program percepatan pembangunan yang
bernuansa mendorong kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti :
(1) Kawasan Sentra Produksi (KSP);
(2) Pengembangan kawasan perbatasan
(3) Pengembangan kawasan tertinggal;
(4) Proyek pengembangan ekonomi lokal.
d.
Program-program
sektoral dengan pendekatan wilayah seperti :
(1) Perwilayahan komoditas unggulan;
(2) Pengembangan sentra industry kecil;
(3) Pengembangan ekonomi masyarakat
pesisir (PEMP), dan lainlain.
Program-program diatas
sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan
pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi. Pendekatan yang
masih terpusat dan masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat wilayah perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar
terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
di wilayah-wilayah yang diidentifikasikan tertinggal.
Menurut, Rustiadi dan
Setia (2004) Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan
dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat
ini adalah :
(1) Mendorong ke arah terjadinya
desentralisasi pembangunan maupun kewenangan;
(2) Menanggulangi hubungan saling
memperlemah antara perdesaan dengan
perkotaan; dan
(3) Menekankan kepada pengembangan ekonomi
yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin
masyarakat desa itu sendiri.
Pengembangan kawasan
agropolitan menekankan kepada hubungan antara kawasan perkotaan secara
berjenjang. Beberapa argumen
mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada
beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya
kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa
disediakan dan pasar untuk produk-produk
desa juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya semuanya sangat tergantung
pada bagaimana keterkaitannya dengan perekonomian dari kota kecil menengah bisa
dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa
diorganisasikan.
Dalam pengembangan
agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu
diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa – kota kecil –
kota menengah – kota besar akan lebih dapat mendorong peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan ini pun harus diikuti oleh kebijakan
pembangunan yang terdensentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan
empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat
perdesaan untuk mencegah kemungkinan bahwa kehadiran kota kecil menengah
tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan
eksploitasi sumberdaya. Batas pengembangan kawasan agropolitan yang optimal
seperti yang telah disebutkan di atas tidak berlaku untuk seluruh daerah
Indonesia.
Menurut Rustiadi dan Hadi
(2004) Penetapan batas pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
(1) Tingkat kemajuan wilayah;
(2) Luas wilayah;
(3) Batas wilayah secara fungsional dalam
arti melihat ciri agroklimat dan lahan, serta pengusahaan tani yang sama;
(4) Kemajuan sumberdaya manusia/ petani.
Sebagai contoh untuk wilayah-wilayah kabupaten di pulau Jawa batas pengembangan
agropolitan mencakup satu wilayah kecamatan, tetapi di luar Jawa seperti
Sulawesi Utara batas wilayah pengembangan agropolitan dapat berbeda.
Kawasan agropolitan yang
sudah berkembang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:
a.
Peran
sektor pertanian (sampai ke tingkat agro-processingnya) tetap dominan.
b.
Pengaturan
pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat
dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun
telekomunikasi (sekitar 300 pelanggan setara dengan 300 kepala keluarga).
Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk
pengembangan usaha taninya sampai keaktivitas pengolahannya. Di kawasan
agropolitan juga tersedia infrastruktur sosial seperti untuk pendidikan,
kesehatan, sampai kepada rekreasi dan olah raga.
c.
Aksesibilitas
yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas yang
dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri
primer.
d.
Mempunyai
produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi
para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan
perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi,
2004).
2.2 Tanaman
Cabai
Menurut Rukmana
(2001) Tanaman cabai dalam sistematika
(taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi :
Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping
dua)
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annuum dan lain-lalin
Dari genus Capsicum,
terdapat lebih kurang 20 – 30 spesies
cabai, termasuk diantaranya lima spesies yang telah dibudidayakan. Karakteristik
lima spesies cabai yang telah dibudidayakan tersebut adalah :
(1) Capsicum annuum (Capsicum annuum var.
Annuum), cabai jenis atau spesies ini
memiliki tangkai daun panjang; helai daun tunggal berbentuk ovale atau
lanceolate, agak kaku, berwarna hijau sampai hijau tua, dengan tepi yang rata.
Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang
utama daun tunggal tersebut tersusun secara spiral.Bunga tumbuh tunggal atau
kadang-kadang berkelompok pada setiap ruas. Pada saat anthesis, tangkai bunga
umumnya merunduk. Setiap bunga mempunyai lima helai daun bunga dan lima atau
enam helai mahkota bunga yang berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu.
Bunga cabai mempunyai satu kepala putih (stigma), berbentuk bulat, dengan
benang sari yang berjumlah enam buah.Daging buah umumnya renyah atau
kadang-kadang lunak. Biji berwarna kuning
muda. Jenis cabai ini bersifat
fasciculate, yaitu sifat tanaman yang buku-bukunya memendek dan
terdapat 4 – 8 bunga atau buah pada satu
ruas. Jenis cabai ini memiliki jumlah kromosom 2n = 24.
(2) Capsicum frutescens, cabai jenis ini mempunyai tangkai daun
pendek, helai daun tungal berbentul ovale, pundak lebar, berwarna hijau atau
agak cokelat-keunguan dan mengkilat. Bunganya tumbuh tunggal atau kadangkadang
bersifat fasciculate. Tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi dengan kuntum
bunga yang merunduk. Mahkota bunga berwarna putih kehijauhijauan tanpa bintik
kuning pada dasar cuping. Calyx tidak
bergelombang dan cuping bunga hampir rata. Daging buah umumnya lunak, dan
posisi buah tegak ke atas. Biji berwarna kuning padi. Jumlah kromosom jenis
cabai ini adalah 2n = 24.
(3) Capsicum chinens, sifat tanaman cabai
jenis ini hampir sama dengan capsicum annuum. Perbedaan hanya terletak pada
sifat bunganya saja. Bunga Capsicum chinens berjumlah dua atau lebih pada
setiap ruas, namun kadang-kadang tunggal, dan bersifat bunga majemuk. Tangkai
bunga tegak atau merunduk saat anthesis.
Mahkota bunga berwarna putih kehijauan, kadang-kadang berwarna putih susu atau
ungu, tanpa bintik kuning pada dasar cuping bunga.Pada buah matang, posisi calyx biasanya berlekuk. Daging buah renyah.
Biji berwarna kuning jerami. Jumlah kromosom cabai jenis ini adalah 2n = 24.
(4) Capsicum baccatum (capsicum baccatum
var. Pendulum, cabai jenis ini mempunyai tangkai daun yang panjang. Bunga
tumbuh tunggal, tangkai bunga tegak atau merunduk saat anthesis. Mahkota bunga berwarna putih
kehijauan, terdapat bintik kuning atau hijau pada dasar cuping bunga.Pada buah
matang, posisi calyx mempunyai lekukan.
Daging buah renyah, biji berwarna kuning mengkilat. Jumlah kromosom cabai jenis
ini adalah 2n = 24.
(5) Capsicum pubescens, cabai jenis ini
mempunyai bunga tunggal, tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi bunga
merunduk. Mahkota bunga berwarna ungu, namun ada yang berwarna putih pada ujung
cuping, tanpa bintik kungin pada sarr cuping bunga. Pada buah matang, keadaan
calyx tidak mepunyai lekukan. Biji berwarna hitam. Cabai jenis ini memiliki
jumlah kromosom 2n = 24 (Rukmana, 2001).
Cabai merah (Capsicum annuum, L) merupakan salah satu
komoditi hortikultura yang tergolong tanaman semusim. Tanamannya berbentuk perdu dengan ketinggian
antara 70 – 110 cm. Ukuran dan bentuk buah pada umumnya besar dan panjang
dengan berat buah bervariasi tergantung varietasnya (Samadi, 2007).
2.3 Pemasaran
Pengertian sehari-hari
arti pemasaran adalah aktfitas jual beli dalam bidang ekonomi pemasaran tidak
terbatas pada kegiatan jual beli saja akan tetapi semua aktifitas ekonomi uang
memungkinkan barang dan jasa bergerak dari produksen sampai ke konsumen.
Menurut Soekartawi
(1993) pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari
produksen ke konsumen, aliran barang ini dapat terjadi karena adanya lembaga
pemasaran. Sedangkan menurut Mubyarto (1994) tataniaga atau pemasaran diartikan
sabagai suatu kegiatan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya pemindahan milik
barang dan jasa untuk menyalurkan distiribusi dari produksen ke konsumen.
Fungsi dan peranan
tataniaga atau pemasaran yaitu mengusahakan agar pembeli mempperoleh barang
yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat. Fungsi utama
dari tataniaga atau pemasaran adalah menyangkut penyimpanan, pengolahan dan
pembiayaan.
Menurut gilarso (1992)
funsi-fungsi pemasaran mencakup semua kegiatan yang perlu diselengarakan dalam
proses memasarkan barang/jasa hingga barang tersebut sampai ketangan konsumen.
Pemasaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia usaha, peranan
lembaga tataniaga ini sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan
karakteristik aliran yang dipasarkan atau lebih di kenal dengan istilah saluran
pemasaran. Sedangkan lembaga tataniaga ini sangat tergantung dari sistem pasar
yang berlaku dan karakteristik aliran yang dipasarkan atau lebih di kenal
dengan istilah saluran pemasaran. Sedangkan lembaga tataniaga adalah orang,
badan atau perusahaan yang terlibat dalam proses pemasaran.
Ditambahkan oleh
Soekartawi (1993) mengemukakan bahwa saluran pemasaran dapat berbentuk secara
sederhana dan dapat pula rumit sekali, hal demikian tergantung dari macam
komonditi lembaga pemasaran dan sistem pasar (iklim pasar). Sedangkan yang
dimaksud dengan saluran pemasaran adalah suaatu jalur yang dilalui oleh arus
barang-barang dari produksen ke perantara dan sampai akhiranya ke tangan
konsumen. Selanjutnya menurut Daniel (2004)
Tataniaga atau
pemasaran memerlukan biaya, dan biaya ini makin besar dengan perkembangan
pertanian maupun peternakan dan makin kompleksnya tataniaga atau pemasaran
tersebut. Menurut Danil (2004) setiap kegiatan pemasaran memerlukan biaya mulai
dari pengumpulan, pengangkutan, pengolahan pembayaran retribusi, bongkar muat
dan lain-lain. Jadi bias disimpulkan biaya pemasaran adalah biaya yang
dikeluarkan oleh lembaga pemasaran (pedagang) dalam menyalurkan hasil pertanian
dari produksen ke konsumen.
Menurut Daniel (2004) margin memasaran adalah selisih antara
harga yang di bayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima Produksen.
margin ini akan diterima oleh lembaga niaga yang terlibat dalam proses
pemasaran tersebut. Sedangkan keuntungan pemasaran adalah selisih margin
pemasaran pedagang dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan selama proses
mengalirnya barang (produk) dari produksen ke konsumen.
BAB
III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di
Desa Pattimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, dan dilaksanakan pada
bulan Februari – Mei 2012.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan
secara survei berdasarkan pada metode deskripsi analisis, yaitu menggambarkan
permasalahan sesuai apa adanya dan berdasarkan fakta yang baru saja berlangsung
(ex post facto).
3.3 Populasi
Dan Sampel
Menurut Arikunto (2002)
apabila populasi kurang dari 100 orang, maka sebaiknya semua anggota terpilih,
sehingga merupakan penelitian 34 sensus.
Jika jumlah populasi lebih dari 100 orang dapat diambil sampel 10, 15, 20, 25 %
atau lebih dari populasi. Berhubung jumlah populasi di lokasi 190 petani, maka jumlah populasi yang diambil 20% dari 190 petani sehingga jumlah
sampel 38 petani.
3.4 Sumber
Dan Jenis Data
Adapun sumber dan jenis data yang
dalam penelitian ini yaitu :
1.
Data
primer yang diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara dengan
berpedoman pada daftar pertanyaan antara lain menyangkut identitas petani,
seperti umur, tingkat pendidikan , jumlah tanggungan keluarga, luas lahan dan
pendapatan petani.
2.
Data
sekunder diperoleh dari kantor atau instansi yang terkait dan berhubungan
dengan penelitian ini, diantaranya Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Luwu
Utara, Kantor Desa Pattimang Kecamatan Malangke. Adapun jenis data yang
diambil adalah : jumlah penduduk, Mata pencaharian, tinkat pendidikan, umur,
jenis kelamin serta data lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
3.5 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah :
3.5.1
Observasi dengan metode interview/ wawancara
Pengambilan data dilakukan
dengan peninjauan dan pengamatan secara langsung ke lokasi serta objek-objek
yang diteliti dengan berpedoman pada kuesioner. Disamping itu dilakukan
interview/ wawancara dengan cara mengajukan daftar pertanyaan langsung atau
secara lesan tentang pelaksanaan usahatani kepada petani pemilik cabai.
Hasilnya merupakan data primer.
3.5.2. Pencatatan
Pengumpulan data sekunder dengan cara mencatat hal-hal
yang berkaitan dengan penelitian, baik yang diperoleh dari data di lapangan,
dari instansi terkait, maupun dari pustaka dan pakar.
3.6 Metode Analisis Data
Adapun Analsisis data yang
di gunakan dalam penelitian ini yaitu Analisis SWOT (Strength, Weaknesses,
Opportunities, Threats) digunakan untuk mengevaluasi kesempatan dan tantangan
di lingkungan Agribisnis. Untuk memudahkan dalam melaksanakan analisis SWOT
diperlukan matriks SWOT. Matriks SWOT akan mempermudah merumuskan berbagai
strategi yang perlu atau harus dijalankan. Dengan cara mengelompokkan
masing-masing problem unsur SWOT ke dalam tabel (Kuncoro, 2006).
3.7 Defenisi
OPrasional
1.
Strategi
pengembangan di kawasan agropolitan
2.
Strategi
pemasaran Cabai di Desa Pattimang,Kecamatan Malangke,Kabupaten Luwu Utara
3.
Proses
produksi Tanaman cabai
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian
Suatu Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Buletin. 1977. Vitamin C. Merck
Service Buletin. Merck and Co. Inc. New Jersey.
Bunasor. 1997. Penelahan Usahatani dan
Usaha-Usaha Pengembangan Program Bantuan dan Reboisasi. Bogor.
Purwati. 1994. Pengaruh Pelapisan
Lilin pada Tomat. FP. UKSW.
Departemen Pertanian, 2004. Profil Kawasan Agropolitan Mengenal Lebih Dekat
Departemen Pertanian, 2004. Profil Kawasan Agropolitan Mengenal Lebih Dekat
Kawasan Agropolitan. Pusat Pengembangan Kewirausahaan Agribisnis.
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia
Pertanian. Departemen
Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar