PROPOSAL
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI DALAM MENDUKUNG
PEMBANGUNAN KAWASAN AGRIBISNIS SAYURAN ORGANIK DI
KECAMATAN LIMBONG KABUPATEN LUWU UTARA

OLEH
RIKWAN
2010.12.029
PROGRAM STUDI
AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelembagaan petani mencakup pengelolaan sumberdaya
pertanian pada kawasan agribisnis hortikultura yang berada didataran tinggi
(Deptan, 2003).Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok
dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(RPPK) tahun 2005-2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi
komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan
petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan
proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar.
Kedepan, agar dapat berperan sebagai kelompok tani yang partisipatif, maka
pengembangan kelembagaan harus dirancang sebagai upaya untuk peningkatan
kemampuan kelompok tani itu sendiri sehingga menjadi mandiri dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis. Pembentukan dan pengembangan kelompok tani
disetiap desa juga harus menggunakan prinsip kemandirian lokal yang dicapai
melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan
partisipasi kelompok tani tidak tumbuh (Kedi Suradisastra, 2008; Syahyuti,
2007).
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir
selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar
adalah kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan
melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya
sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan
kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para
petani secara horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa.
Kelompok tani juga dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan gender.
Pengembangan kelompok tani dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan petani
dalam mengakses berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap
lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana
produksi pertanian serta terhadap sumber
informasi (Saptana, Saktyanu, Sri Wahyuni, Ening dan Valeriana Darwis, 2004).
Sedangkan menurut di Suradisastra, Kelompok tani merupakan lembaga yang
menyatukan para petani secara horizontal dan vertikal.
Berbagai kesalahan dalam pengembangan kelembagaan selama
ini yaitu hampir tiap program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat
pedesaan membentuk satu kelembagaan yang baru. Sebagian besar kelembagaan
dibentuk lebih untuk tujuan mendistribusikan bantuan dan memudahkan tugas
kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat secara
nyata. Setiap program membuat satu organisasi yang baru dengan nama yang khas,
jarang sekali program dari dinas tertentu menggunakan kelompok yang sudah ada.
Pengembangan kelembagaan hanya dengan dukungan material yang cukup tapi tidak
dibina bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik. Walaupun kelembagaan
telah dijadikan alat yang penting dalam menjalankan suatu program, namun
penggunaan strategi pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan
dan kekeliruan (Uphoff, 1986; Syahyuti, 2003).
Secara konseptual tiap kelembagaan petani yang dibentuk
dapat memainkan peran tunggal ataupun ganda. Khusus untuk kegiatan ekonomi,
terdapat banyak lembaga pedesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi,
diantaranya adalah kelompok tani, koperasi dan kelompok usaha agribisnis.
Secara konseptual masing-masing dapat menjalankan peran yang sama (tumpang
tindih). Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian pedesaan tidak
akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk dan
obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha
tani (on farm), pemenuhan informasi
dan teknologi serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian (Syahyuti, 2008;
F. Kasijadi,A. Suryadi dan Suwono, 2003).
Kawasan menunjuk pada suatu wilayah yang merupakan sentra
(pusat), dapat berupa sentra produksi, perdagangan maupun sentra konsumsi.
Dengan demikian kawasan sentra produksi sayuran adalah suatu kawasan pusat
kegiatan produksi sayuran dalam suatu unit wilayah tertentu yang memiliki
karakteristik yang relatif sama, dan memiliki kelengkapan infrastruktur dan
sistem yang menunjang kegiatan produksi sayuran (Saptana,Saktyanu, Sri Wahyuni,
Ening dan Valeriana Darwis, 2004).
Sistem Agribisnis yang lengkap merupakan suatu gugusan
industri ynag terdiri dari empat subsistem yaitu subsistem agribisnis hulu
yakni industri sarana produksi (industri benih, pupuk, pestisida dan indutri
alsintan), subsistem budidaya (on-farm)
yang menghasilkan komoditas pertanian primer, subsistem agribisnis hulu yaitu
pengolahan hasil baik menghjasilkan produk antara maupun produk akhir,
subsistem pemasaran yaitu pendistribusian produk dari sentra produksi ke sentra
konsumsi, subsistem jasa penunjang yaitu dukungan sarana dan prasarana serta
lingkungan yang mendukung pengembangan agribisnis (Sudaryanto dan Pasandaran,
1993; dan Ditjerhot, 2001).
Dalam pengembangan kawasan agribisnis ada 4 masalah yang
dihadapi yaitu penurunan harga dengan cepat dan sempurna kepada
petani,sedangkan kenaikan harga lambat dan tidak sempurna; informasi pasar yang
monopolistik pada agribisnis hilir; IPTEK dari agribisnis hilir tidak
ditransmisikan ke agribisnis hulu (petani); Modal investasi yang relatif banyak
di agribisnis hilir tidak disalurkan dengan baik, bahkan cenderung digunakan
untuk mengeksploitasi agribisnis hulu (Simatupang, 1995).
Keberhasilan pengembangan agribisnis sayuran tergantung
kepada keterpaduan antara program dan kesiapan kelembagaannya. Ada tiga bentuk
kelembagaan yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas
lokal atau tradisional, kelembagaan pasar, kelembagaan sistem politik atau
sistem pengambilan keputusan ditingkat publik (Etzioni, 1991;Uphoff, 1992).
Kabupaten Luwu Utara tepatnya di Kecamatan Limbong merupakan daerah yang terletak pada dataran tinggi.
Sehingga sangat cocok untuk pengembangan usaha pertanian. Pengembangan
pertanian bertujuan untuk kesejahteraan petani dan keluarganya dalam berusaha
tani dengan melakukan agribisnis pertanian sayuran organik yang tangguh dan
profesional serta berwawasan lingkungan (Pemerintah Kabupaten Luwu
Utara, 2010).
Kabupaten Luwu Utara merupakan daerah yang memiliki potensi berupa lahan
kering, sawah dan perikanan. Khusus di Kecamatan Limbong, kawasan ini sangat cocok ditanami sayur-sayuran karena
memiliki keunggulan komparatif, dan Pemerintah Kabupaten Luwu
Utara telah menetapkan menjadi suatu
Kawasan Pusat Pengembangan Agribisnis Sayuran Organik (KASO), dalam
pelaksanaannya pembinaan dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Luwu
Utara dan Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi
Selatan.
Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi
komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan
petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan
proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar.
Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak
tumbuh (Kedi Suradisastra, 2008; Syahyuti, 2007; Bank Dunia, 2005)
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir
selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar
adalah kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan
melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya
sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan
kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
Pada
tahun 2002 bahwa untuk kelancaran pelaksanaa kegiatan Pengembangan Kawasan
Agribisnis Sayuran Organik (KASO), Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Luwu
Utara menetapkan kelompok tani “ Sipakatau” sebagai pelaksana kegiatan tersebut.
Komoditas yang
diusahakan adalah kubis, brokoli, kol bunga, wortel, selada, sawi, cabe,
bawang daun, lobak. Produk sayuran dengan sistem organik ini memiliki
keunggulan-keunggulan yaitu diantaranya ramah lingkungan dan memiliki kadar
mutu kesehatan yang lebih baik dari sayuran produksi non organik dan harga jual
sayuran organik lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran non organik (Pracaya,
2003).
Menurut
Perhepi (1989), menyatakan salah satu hambatan dalam pengembangan agribisnis di
Indonesia yaitu sistem kelembagaan, terutama di pedesaan terasa masih lemah
sehingga kondisi ini menyebabkan kurang mendukung kegiatan agribisnis
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk
melakukan penelitian ini. Dari perumusan masalah diatas, muncul pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Apa saja permasalahan kegiatan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran
organik di Kecamatan Limbong.
2. Bagaimana strategi pengembangan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran
organik di Kecamatan Limbong.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui permasalahan kegiatan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran
organik di Kecamatan Limbong
2. Menganalisis strategi pengembangan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di Limbong
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian
ini, maka diharapkan hasilnya dapat berguna dan bermanfaat untuk :
1. Bagi petani, yaitu sebagai masukan
dan informasi sehingga dapat membantu
dalam menghadapi masalah sehubungan dengan pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan
kawasan agribisnis.
2. Bagi pemerintah, yaitu sebagai
masukan, gambaran dan pertimbangan mengenai pengembangan kelompok tani dan
masalah yang dihadapi kelompok tani, sehingga membantu dalam perumusan
kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian yang lebih berpihak pada
petani.
3. Bagi penulis sendiri yaitu dapat
meningkatkan pemahaman mengenai pengembangan kelompok tani dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis dan bagi mahasiswa lain dapat dijadikan acuan
dalam melakukan penelitian tentang kasus ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Strategi
Dalam Artikel Michail Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard Business Review (1996) Istilah
strategi tidak asing dalam percakapan sehari-hari. Kita mempunyai pengertian
tersendiri ketika membaca kata ini dalam sebuah tulisan atau mendengarnya dalam
percakapan seseorang. Strategi sebagai penentu tujuan jangka panjang, program
kerja dan alokasi sumberdaya.Dalam
dimensi ini, strategi merupakan cara untuk secara eksplisit menentukan
tujuan jangka panjang, sasaran-sasaran organisasi, program kerja yang
dibutuhkan untu mencapai tujuan, dan alokasi sumberdaya yang diperlukan.
a. Strategi
penentu aspek keunggulan organisasi, disini strategi dijadikan power yang
efektif untuk menentukan segmentasi produk dan pasar. Segmentasi itu mencakup
baik penentuan customer maupun pengenalan tentang competitor yang dihadapi.
b. Strategi
sebagai penentu tugas manajerial. Dimensi ini memperlihatkan perspektif
organisasi sebagai korporasi, bisnis, dan fungsi-fungsi. Ketiga perspektif ini
harus dilihat secara holistik dengan tetap memperhatikan perbedaan tugas
manajerial masing-masing perspektif.
c. Strategi sebagai pola pengambilan
keputusan yang saling mengikat. Disini strategi dilihat sebagai pola
pengambilan keputusan berdasarkan masa lampau yang mungkin ikut menentukan apa
yang harus dilakukan dimasa depan.
d. Strategi sebagai upaya mengalokasikan sumberdaya untuk
mengembangkan keunggulan berdaya saing yang berkesinambungan. Disini kompetensi
inti terkait erat dengan sumberdaya organisasi.
2.2 Konsep Kelembagaan Kelompok Tani
Kelembagaan dan Organisasi adalah berbeda, kelembagaan
adalah sesuatu yang berada diatas petani, sedangkan organisasi berada dilevel
petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi Kelembagaan “. Menurut
North (2005) institution adalah the rule of the game, sedangkan organization adalah “their enterpreneurs are the players”.
Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005) yang berpendapat bahwa ”institution determine social organization”.
Jadi kelembagaan merupakan wadah tempat-tempat organisasi hidup.
Upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya adalah
pengembangan kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan peningkatan
kemampuan kelompok-kelompok petani kecil (Kartasasmita, 1997 : 31-32).
Pada dasarnya pengertian kelompok tani tidak bisa
dilepaskan dari pengertian kelompok itu sendiri. Menurut Sherif dan Sherif
(Catrwright dan Zander, 1968) kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri
dari sejumlah individu yang satu dengan individu lainnya, mempunyai hubungan
saling tergantung sesuai dengan status dan perannya, mempunyai norma yang
mengatur tingkah laku anggota kelompok itu.
Kelompok pada dasarnya adalah gabungan dua orang atau
lebih yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, dimana interaksi yang
terjadi bersifat relatif tetap dan mempunyai struktur tertentu. Menurut Polak
(1976) maksud struktur sebuah kelompok adalah susunan dari pola antar hubungan
intern yang agak stabil, yang terdiri atas :
(1) suatu rangkaian status-status atau kedudukan-kedudukan
para anggotanya yang hirarkhis,
(2) peranan-peranan sosial yang berkaitan dengan
status-status itu,
(3) unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai, norma-norma, model)
yang mempertahankan, membenarkan dan mengagungkan struktur.
Menurut Soekanto (1986) ada beberapa hal yang harus
menjadi ciri kelompok, yaitu : setiap anggota kelompok harus sadar sebagai
bagian dari kelompok, ada hubungan timbal balik antara sesama anggota dan
terdapat suatu faktor yang dimiliki mbersama oleh para anggota sehingga
hubungan diantara mereka semakin kuat.
Perry dan Perry (Rusdi, 1987) mengemukakan bahwa yang
menjadi ciri-ciri suatu kelompok adalah :
(1) ada interaksi antar anggota yang berlangsung secara
kontinyu untuk waktu yang relatif lama,
(2) setiap anggota menyadari bahwa ia merupakan bagian dari
kelompok, dan sebaliknya kelompoknyapun mengakuinya sebagai anggota,
(3) adanya kesepakatan bersama antar anggota mengenai
norma-norma yang berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan
yang akan dicapai,
(4) adanya struktur dalam kelompok, dalam arti para anggota
mengetahui adanya hubungan-hubungan antar peranan, norma tugas, hak dan
kewajiban yang semuanya tumbuh didalam kelompom itu.
Menurut Bappenas (2004), Dalam rangka pemberdayaan
(penguatan) petani sebagai salah satu pelaku agribisnis hortikultura, maka
perlu menumbuh kembangkan kelompok tani yang mandiri dan berwawasan agribisnis.
Penguatan kelembagaan ditingkat petani meliputi kelompok tani, asosiasi,
himpunan, koperasi, merupakan hal yang perlu segera dikembangkan secara dinamis
guna meningkatkan profesionalisme dan posisi tawar petani.
1) Penumbuhan Kelompok tani
a) Menumbuhkan kelompok tani baik dari kelompok yang sudah
ada ataupun dari petani dalam satu wilayah.
b) Membimbing dan mengembangkan kelompok berdasarkan
kepentingan usaha tani kelompok.
c) Mengorganisasikan petani dalam kelompok.
d) Menjalin kerjasama antar individu petani didalam satu
kelompok
2) Peningkatan Kemampuan Kelompok tani
a) Meningkatkan kemampuan kelompok tani melalui peningkatan
kualitas dan produktivitas SDM, meningkatkan managerial dan kepemimpinan
kelompok.
b) Mengembangkan fungsi kelompok tani menjadi kelompok
usaha/ koperasi.
c) Mengembangkan organisasi kelompok ke bentuk yang lebih
besar, seperti Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Asosiasi.
3) Mengembangkan Kemitraan Usaha
a) Mengembangkan kemitraan usaha agribisnis antara kelompok
on-farm dengan kelompok off-farm.
b) Meningkatkan nilai tambah ekonomis produk melalui
kerjasama usaha antara pelaku agribisnis.
c) Memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan adanya pelaku
kemitraan (petani, kelompok tani, pengusaha, dan pemerintah; Adanya kebutuhan
dan kepentingan bersama dari pelaku-pelaku agribisnis; Adanya kerjasama dan
kemitraan yang seimbang dan saling menguntungkan.
Organisasi atau kelembagaan petani diakui sangat penting
untuk pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang
seperti Indonesia. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungna masih lemahnya
organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam
menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi yang
terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi
itu bekerja bukan untuk petani tetapi melayani kepentingan pemerintah atau para
pengelolanya (Vahn den Ban dan Hawkins, 1999: 265).
Bunch (1991: 270-271) menegaskan pembangunan lembaga
tidak sekadar memindahkan kerangka organisasi tetapi juga hgarus memberikan
“perasaan” tertentu, ciri-ciri masyarakat, perassan, keterampilan, sikap dan
sikap moral merupakan darah dan daging suatu lembaga.
2.3 Konsep
Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang
dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan
mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas
infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria,
peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi
kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk
menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil
usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa
berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan
alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi
bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan
yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak,
ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat
memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut
adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani,
perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan
pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal
yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang
merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan
pertanian.
1)
Perangsang pembangunan pertanian
Ø Adanya rencana pembangunan yang
memberi prioritas pada pembangunan pertanian.
Ø Adanya kebijakan-kebijakan
khusus seperti kebijakan harga minimum (floor
price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan
dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan
pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun
mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan
usaha pembangunan
2)
Faktor-faktor fisik dan sosial
Ø Tersedianya secara lokal
kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Ø Adanya lembaga perbankan yang
siap melayani dan meminjamkan kredit dengan persyaratan yang tidak berat.
Ø Pengembangan usaha koperasi
melalui peningkatan mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader
baru, membantu dan membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model
pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang
berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi,
politik, tehnologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model
pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun,
setidaknya (seperti Indonesia) bisa
belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari
Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan
jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam
“ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.
2.4
Konsep Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura
Definisi
yang lebih lengkap mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus awal istilah
agribisnis yaitu Davis dan Goldberg (1957) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all
operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies;
production activities on the farm; and storage, processing and distribution of
commodities and items made from them“. Definisi inilah yang
sekarang sering digunakan dalam literatur manajemen agribisnis (Sonka dan
Hudson 1989).
Agribisnis
merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan
penunjang. Menurut Saragih dalam Pasaribu (1999), batasan agribisnis adalah
sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu
subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis
hilir, susbistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan
pertanian.
Agribisnis
diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan : (1)
pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sistem,
kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu
dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya
sistem tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian,
termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri. Sektor
pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional (Sumodiningrat, 2000).
Menurut Anonimous ( 2000 ), yang dimaksud dengan Sistem
Agribisnis adalah rangkaian dari berbagai sub sistem penyelesaian prasarana dan
sarana produksi, subsistem budidaya yang menghasilkan produk primer, sub sistem
industri pengolahan (agroindustri),
sub sistem pemasaran dan distribusi serta sub sistem jasa pendukung. Bagi
Indoensia pengembangan usaha pertanian cukup prospektif karena memiliki kondisi
yang menguntungkan antara lain; berada di daerah tropis yang subur, keadaan
sarana prasarana cukup mendukung serta adanya kemauan politik pemerintah untuk
menampilkan sektor pertanian sebagai prioritas dalam pembangunan. Tujuan
pembangunan agribisnis adalah untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian,
menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta mengembangkan kemitraan
usaha. Dengan visi mewujudkan kemampuan berkompetisi merespon dinamika perubahan
pasar dan pesaing, serta mampu ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Departemen Pertanian (2005), komoditas
hortikultura merupakan sangat prospektif, baik untuk mengisi kebutuhan pasar
domestik maupun internasional mengingat potensi permintaan pasarnya baik di
dalam maupun di luar negeri besar dan nilai ekonominya yang tinggi. Dengan
kemajuan perekonomian, pendidikan, peningkatan pemenuhan untuk kesehatan dan
lingkungan menyebabkan permintaan produk hortikultura semakin meningkat. Disamping
itu keragaman karakteristik lahan dan agroklimat serta sebaran wilayah yang
luas memungkinkan wilayah Indonesia digunakan untuk pengembangan hortikultura
tropis dan sub tropis. Fungsi utama tanaman hortikultura bukan hanya sebagai
bahan pangan tetapi juga terkait dengan kesehatan dan lingkungan. Secara fungsi
ini sederhana dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :
- Fungsi Penyediaan
Pangan, terutama dalam hal penyediaan vitamin, mineral, serat, energi dan
senyawa lain untuk pemenuhan gizi.
- Fungsi Ekonomi, pada
umumnya komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi,
sumber pendapatan cash petani, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain.
- Fungsi Kesehatan,
bahwa buah dan sayur dan terutama biofarm maka dapat digunakan untuk
mencegah dan mengobati penyakit-penyakit tidak menular.
- Fungsi Sosial
Budaya, sebagai unsur keindahan/kenyamanan lingkungan, upacara-upacara,
pariwisata dan lain-lain.
Usaha kegiatan tanaman hortikultura adalah kegiatan yang
menghasilkan produk tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman hias dan
tanaman obat-obatan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual /
ditukar atau memperoleh pendapatan / keuntungan atas resiko usaha ( Badan Pusat
Statistik, 2003).
Pembangunan pertanian yang ada selama ini dengan
pendekatan kewilayahan dan peningkatan partisipasi masyarakat daerah setempat,
khususnya untuk program tanaman pangan dan hortikultura. Mendesaknya
kepentingan pembangunan dan perancangan ulang program ini dapat dilihat dari
beberapa segi. Pertama, program tanaman pangan dan hortikultura adalah
merupakan tempat penyerapan tenaga kerja terbesar dalam sistem pembangunan
nasional, sedemikian hingga setiap peningkatan pembangunan tanaman pangan dan
hortikultura secara otomatis juga akan membantu mengatasi masalah pengangguran.
Kedua, program tanaman pangan dan hortikultura masih merupakan penopang
utama dalam sistem perekonomian nasional, khususnya dalam memproduksi makanan
pokok, sehingga mengurangi ketergantungan pangan kepada dunia luar. Ketiga,
harga produk tanaman pangan dan hortikultura memiliki bobot yang besar dalam
penentuan indeks harga konsumen, sehingga sifat dinamikanya sangat berpengaruh
dalam menekan laju inflasi, yang oleh karenanya pembangunan pertanian ini akan
membantu memantapkan stabilitas ekonomi nasional. Keempat, Peningkatan
pembangunan tanaman pangan dan hortikultura ini bisa berperan penting dalam
mendorong sektor industri dan ekspor, serta mengurangi impor produk tanaman
pangan dan hortikultura yang pada gilirannya akan memantapkan neraca
pembayaran. Kenyataan betapa pentingnya pembangunan tanaman pangan dan
hortikultura tersebut diatas telah disadari sepenuhnya oleh pemerintah yang
melihat bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan sektor pertanian dimasa
mendatang mutlak memerlukan reorientasi pemikiran dalam pelaksanaannya
(Bappenas, 2004).
Pembangunan pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan
dan hortikultura, diarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan yang tidak
hanya bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, tapi lebih berwawasan
kepada peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat. Upaya ini
dilakukan dengan prioritas utama kepada produksi, pelestarian sumberdaya dan
swasembada pangan, serta agribisnis yang berwawasan lingkungan.
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan
agribisnis karena :
1. Memiliki lahan
yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan yang
disebut komoditi unggulan.
2. Memiliki pasar,
baik itu pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian maupun pasar
jasa pelayanan.
3. Memiliki
kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang dinamis dan terbuka
padsa inovasi baru, yang harus berfungsi juga sebagai sentra pembelajaran dan
pengembanagn agribisnis.
4. Memiliki Balai
Penyulukan Pertanian yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnsis (KKA)
yaitu sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis
dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang
lebih efisien dan menguntungkan (Deptan, 2002).
2.5 Konsep
Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang
dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan
mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas
infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria,
peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi
kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk
menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil
usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa
berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan
alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi
bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan
yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak,
ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat
memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut
adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani,
perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan
pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal
yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang
merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan
pertanian.
Perangsang pembangunan pertanian diantaranya : Adanya rencana pembangunan
yang memberi prioritas pada pembangunan pertanian Adanya kebijakan-kebijakan
khusus seperti kebijakan harga minimum (floor
price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan
dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan
pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun
mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan
usaha pembangunan
Faktor-faktor fisik dan sosial diantaranya : Tersedianya secara lokal
kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit dengan
persyaratan yang tidak berat. Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan
mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan
membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model
pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang
berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi,
politik, teknologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model
pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun,
setidaknya (seperti Indonesia) bisa
belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari
Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan
jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam
“ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.
2.6 Konsep Pertanian Organik
Pertanian organik
merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan‑bahan
organik (Pracaya, 2002). Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai
sistern pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai
praktek seperti pendaur ulangan unsur hara dan bahan‑bahan organik, rotasi
tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan
pestisida sintetik (IASA dalam Dimyati, 2002). Sedangkan pengertian organik
menurut FAOI adalah suatu sistem manajemen yang holistik yang mempromosikan dan
meningkatkan pendekatan sistem pertanian berwawasan kesehatan lingkungan,
termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Dalam
pengertian ini ditekankan pada preferensi penerapan input of farm dalam
manajemen dengan memperhatikan kondisi regional yang sesuai.
Pertanian organik didasarkan pada prinsip‑prinsip IFOAM
(International Federation of Organic Agriculture Movement) 2005 : prinsip kesehatan,
ekologi, keadilan dan pelindungan. Pertanian organik harus melestarikan dan
meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu
kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus membangun hubungan yang
mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang
yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan.
Keadilan memedukan sistern produksi, dtstribusi dan perdagangan yang terbuka,
adil dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenamya.
Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian
organik di Indonesia yang tertuang dalarn SNI 01‑6729‑2002 (BSN, 2002).
SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang
nantinya juga harus diakreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat
Standarisasi dan Akreditasi). SNI sistern pangan organik diadopsi dengan
mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 ‑ 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and
marketing of organikally produced food dan dimodifikasi sesuai
dengan kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir
tidak mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dad suatu lembaga
sertifikasi asing maupun dalam negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya
sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu
mensertifikasi lahannya. Satu‑satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok
petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi,
dengan demikian mereka dapat membiayai sertifikasi usaha tani mereka
secara gotong royong. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas
produksi mereka (Husnain et al., 2005).
Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan
menerapkan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen
produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil
rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain,
Pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora,
fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan
degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik.
Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun
mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian
organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik.
Pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan dilakukan
melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan,
sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi
sekarang dan generasi mendatang.
Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah : 1) pemanfaatan
sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan dan
air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam, 2) proses
produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan,
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat, 3)
penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan
produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah), 4) produk
yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen
dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar merupakan
acuan dalam agribisnis hortikultura ini.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat
lambat. Namun minat bertani dengan sistem organik akhir-akhir ini sudah mulai
tumbuh. Hal ini diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan
petanian organik yang waktu-waktu yang akan datang.
Kendala-kendala dalam pengembangan pertanian organik yang
bersifat makro antara lain peluang pasar, penelitian dan pengembangan, dan
kondisi iklim.
Sejak dua dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia terhadap produk pertanian organik mulai tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di Eropa, merupakan salah satu pertimbangan utama dalam pemberlakuan Council Regulation (EEC) No. 2092/91 (EEC, 1991).
Sejak dua dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia terhadap produk pertanian organik mulai tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di Eropa, merupakan salah satu pertimbangan utama dalam pemberlakuan Council Regulation (EEC) No. 2092/91 (EEC, 1991).
Disamping kendala pasar, program penelitian dan
pengembangan yang mendukung ke arah pengembangan sistem pertanian organik di
Indonesia pada komoditas lain masih belum banyak dilakukan, sehingga
pengembangan agribisnis di sektor organik masih terbatas. Berdasarkan
pengalaman pada komoditas kopi tersebut di atas, dukungan penelitian sangat
diperlukan agar pengembangan agribisnis di sektor organik dapat berhasil dengan
baik.
Kendala lainnya adalah Indonesia memiliki iklim tropika
basah, bahkan di beberapa tempat tidak memiliki atau sedikit sekali periode
kering. Kondisi iklim seperti ini menguntungkan untuk jasad penganggu, khususnya
jamur. Intensitas serangan jasad penggangu yang tinggi akan lebih menyulitkan
dalam praktek penerapan pertanian orgnik.
Kendala mikro yang dimaksud adalah kendala yang dijumpai di tingkat usaha
tani, khususnya petani kecil. Minat produsen, pada pelaku usaha pertanian di
Indonesia belum banyak yang beminat untuk betani organik. Minat pelaku usaha
untuk mempraktekkan pertanian petanian organik ini akan meningkat apabila pasar
domestik dapat ditumbuhkan. Pemahaman kurang, pemahaman para petani terhadap
sistem pertanian organik masih sangat kurang. Pertanian organik sering dipahami
sebatas pada praktek pertanian yang tidak menggunakan pupuk anorganik dan
pestisida.
Pengertian tentang sistem pertanian organik yang benar
perlu disebarluaskan pada masyarakat. Pengertian tersebut meliputi filosofi,
tujuan, penerapan, perdagangan, dan lain-lain. Sebagai acuan untuk
penyebarluasan pengertian pertanian organik sebaiknya menggunakan standar dasar
yang dirumuskan oleh IFOAM.
.
Organisasi di tingkat petani, Organisasi di tingkat petani merupakan kunci penting dalam budidaya pertanian organik. Hal ini terkait dengan masalah penyuluhan dan sertifikasi. Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil akan sulit diwujudknan tanpa dukungan kelompok tani.
Organisasi di tingkat petani, Organisasi di tingkat petani merupakan kunci penting dalam budidaya pertanian organik. Hal ini terkait dengan masalah penyuluhan dan sertifikasi. Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil akan sulit diwujudknan tanpa dukungan kelompok tani.
Di beberapa daerah organisasi petani sudah terbentuk
dengan baik, tetapi sebaiknya di daerah-daerah lain organisasi pertani masih
sulit diwujudkan.
Kemitraan petani dan pengusaha, upaya membentuk hubungan kemitraan antara petani dan pengusaha yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu yang masih belum memberikan hasil seperti yang diharapkan petani.
Kemitraan petani dan pengusaha, upaya membentuk hubungan kemitraan antara petani dan pengusaha yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu yang masih belum memberikan hasil seperti yang diharapkan petani.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu
dimulai bulan Desember 2009 sampai bulan Januari 2009 terhitung sejak
dikeluarkannya surat turun penelitian dari Fakultas Pertanian Universitas Andi
Djemma.
Adapun
lokasi Penelitian ini
dilaksanakan di Kecamatan Limbong Kabupaten Luwu Utara yaitu secara purposive atau sengaja karena kelompok tani
pambalahan merupakan salah satu sentra
penghasil sayuran di Sumatera Barat.
Selain itu didaerah ini, pemerintah melaksanakan Program Pengembangan Kawasan
Agribisnis Sayuran Organik (KASO).
3.2 Populasi
Dan Sampel
Adapun
yang menjadi populasi dalam penelitian ini
yaitu Kelompok tani Sipakatau. Karena kelompok tani Sipakatau merupakan satu-satunya kelompok tani yang sudah
menerapkan pertanian organik
Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara sensus yaitu semua petani yang termasuk kedalam kelompok tani Pambalahan. Karena kelompok
tani Pambalahan merupakan satu-satunya
kelompok tani yang sudah menerapkan pertanian organik di Kecamatan
Limbong dengan jumlah petani 40
orang yang melakukan usahatani kubis.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan informan
kunci (key informan) secara mendalam dengan bantuan pengisian daftar pertanyaan
(kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian
ini untuk kelompok tani Sipakatau.
Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan diperoleh dari
lembaga atau instansi yang berhubungan dengan penelitian ini seperti dinas
pertanian, BPP (Balai Penyuluh Pertanian), serta literatur-literatur yang
relevan seperti buku-buku, jurnal penelitian internet dan laporan-laporan yang
berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Metode
Analisa Data
Analisa data untuk tujuan pertama yaitu Mendeskripsikan
masalah kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran
organik dianalisa dengan analisa deskriptif kualitatif, dimana dalam penelitian
ini akan dibahas permasalahan yang dialami oleh petani antara lain : masalah
teknis, masalah sosial dan masalah ekonomi
Untuk tujuan kedua yaitu Menganalisis strategi pengembangan kelompok tani
dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis di Kecamatan
Limbong digunakan analisa SWOT.
Analisa SWOT yang memuat variabel faktor internal yang meliputi aspek yang
menjadi kekuatan dan kelemahan, serta variabel faktor eksternal yang meliputi
aspek yang menjadi peluang dan ancaman.Dari analisa SWOT yang dilakukan ini,
maka diharapkan segala kemungkinan yang menguntungkan dan merugikan, baik
berasal dari dalam atau dari luar sehubungan dengan pengembangan kelompok tani
dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis ini, akan dapat diantisipasi dan
dicarikan jalan keluarnya.
3.5 Definisi Operasional
Dari kerangka teori, konsep dan kerangka yang telah
disajikan pada bagian tinjauan pustaka, maka penelitian ini menggunakan
defenisi oprasional agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Adapun
defenisi itu adalah sebagai berikut
1. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para
petani secara horizontal dan vertikal.
2. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi
masyarakat pertanian di kawasan agropolitan. Dimana terdapatnya kegiatan
belajar mengajar dalam perubahan sikap, keterampilan, dan perilaku masyarakat
tani di kawasan agribisnis. Dalam proses pembelajaran, dilengkapi dengan penyuluh
sebagai pengajar, materi yang disampaikan, media yang digunakan, dan sasaran
(petani) sebagai orang yang disuluh.
3. Tanaman hortikultura adalah berbagai jenis tanaman
sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang diusahakan oleh petani di
kawasan agribisnis.
Adapun jenis tanaman hortikultura yang banyak diusahakan adalah sayuran dataran
tinggi seperti wortel, sawi, cabe, kubis, kol, kentang, daun bawang, seledri,
dan lain sebagainya.
4. Pasar hasil pertanian adalah
sarana penampungan dan pemasaran hasil pertanian masyarakat di kawasan Agribisnis Kecamatan
Limbong seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) yang dilengkapi dengan pasar
lelang, gudang penyimpanan (cold storage), sarana pencucian, sortasi dan
prossesing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
6. Partisipasi adalah peran
serta / inisiatif masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, yaitu
meliputi pada perencanaan kegiatan sampai pada mengevaluasi dan menikmati hasil
kerja. Partisipasi masyarakat seperti dalam penentuan usulan kegiatan,
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
7. Lembaga pertanian adalah
lembaga / organisasi petani yang mengelola setiap kegiatan usaha tani baik yang
bersifat formal maupun informal seperti BPP, kelompok tani / gapoktan, P3A,
Koperasi, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Michail
Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard
Business Review November-Desember 1996.
Bappenas. 2004. Tata
Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan Untuk Percepatan Pembangunan Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan
Tertinggal.
Dinas Pertanian.
2007. Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Limbong Kabupaten Luwu Utara.
Indraningsih, Kurnia, Suci, Ashari dan Supena Friyatno. 2005. Strategi
Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Bali. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.
Kedi Suradisastra. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepetan
Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Volume 4 No 4 Desember
2006.
Mubyarto. 1989.
Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian . Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Sadikin,Ikin, Rita Nur Suhaeti, dan Kedi Suradisastra. 1999. Kajian
Kelembagaan Agribisnis Dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian
Berbasis Agroekosistem. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa
Kebijakan Pertanian.
Sapja Anantanyu. 2004. Gambaran Kemiskinan Petani dan Alternatif
Pemecahannya. MK Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702).
Saptana, Saktyanu KD, Sri Wahyuni, Ening Ariningsih dan Valeriana Darwis.
2004. Integrasi Kelembagaan Forum KASS dan Program Agropolitan Dalam Rangka
Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi.
Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Volume 2 No3 September 2004.
Saptana, Sunarsih, Kurenia Suci Indraningsih. 2005. Mewujudkan Keunggulan
Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha
Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.
Sry Wahyuni. 2007. Integrasi Kelembagaan di Tingkat Petani : Optimalisasi
Kinerja Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi.Dimuat dalam
Tabloid Sinar Tani 10 Juni 2009.
Suradisastra, Kedi. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Pusat
Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Jurnal Forum Penelitian
Agro Ekonomi, Volume 26 No 2 Desember 2008.
Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN)
Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi.
Bogor.
Van Den Ban.A.W dan
H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian.
Kanisius .Yogyakarta.
Kanisius .Yogyakarta.
Yudhoyono, S.
Bambang, 2006, Pembangunan Pertanian Indonesia dari Revolusi Hijau ke Pertanian
Berkelanjutan, Orasi Ilmiah di Universitas Andalas Padang Tanggal 21 September
2006
Yunasaf, Unang. 2005. Kepemimpinan Ketua Kelompok dan Hubungannya dengan
Keefektifan Kelompok.
Yusmaini. 2009.
Kesiapan Teknologi Mendukung Peretanian Organik Tanaman Obat : Kasus Jahe.
kembangkan terus brother,,,,
BalasHapus