Kamis, 05 Juni 2014

PROPOSAL STRATEGI PEMASARAN TANAMAN CABAI DI KECAMATAN MALANGKE

PROPOSAL
STRATEGI PEMASARAN TANAMAN CABAI DI KECAMATAN MALANGKE






PRODRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2012




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agropolitan merupakan kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu pembangunan pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan didukung dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan industri pengolahnya. Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digunakan dan difasilitasi oleh pemerintah.
Kawasan pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah produsen sebagai pusat kegiatan pertanian (yang tertinggal). Wilayah desa dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima bahan berlebih, sehingga untuk mengatasi kesenjangan ini perlu adanya strategi pengembangan wilayah agropolitan.
Pembangunan sektor pertanian sekarang adalah sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, dapat memberi dampak-dampak  negatif terhadap pembangunan nasional secara keseluruhannya, yaitu terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok  antara lain mengenai  tingkat pendapatan. Pada gilirannya  keadaan ini menciptakan ketidakstabilan yang rentan terhadap setiap goncangan yang  menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang.
Akibat kemiskinan dan  kurangnya lapangan kerja maka masyarakat desa secara nasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Meskipun tidak  ada  jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat, sehingga dapat menimbulkan pencemaran, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.
Dalam Undang-undang No. 24/1992 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa kawasan  desa adalah kawasan fungsional dengan ini kegiatan utama  desa adalah sektor pertanian.  Oleh sebab itu, strategi pembangunan harus mampu menjawab tantangan pembangunan perdesaan.Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi pemukiman di desa yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar.
Investasi dalam bentuk  infrastruktur yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah  desa dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan khususnya terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja.  Disamping itu juga perlu diberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil menengah di wilayah desayang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.Dalam kaitannya dengan proses produksi pangan dan bahan mentah, kawasan produsen adalah konsumen bagi produk sarana produksi pertanian,produk investasi dan jasa produksi dan sekaligus sebagai pemasok bahan mentah untuk industri pengolah atau penghasil produk akhir.
Cabang kegiatan ekonomi lain di depan (sektor hilir) dan dibelakangnya (sektor ulu), sektor pertanian  produsen seharusnya terikat erat dalam apa yang disebut sebagai sistem agribisnis. Dalam perspektif agribisnis, sektor hulu seharusnya terdiri dari perusahaan jasa penelitian, perusahaan benih dan pemuliaan, industri pakan, mesin pertanian, bahan pengendali hama dan penyakit, industri pupuk, lembaga penyewaan mesin dan alat-alat pertanian, jasa pergudangan, perusahaan bangunan pertanian,  asuransi, agen periklanan, mass-media pertanian, serta jasa konsultasi ilmu pertanian. Melihat keadaan di atas perlu diteliti  seberapa jauh  peranan agropolitan terhadap analisis usaha tani cabai merah di Kabupaten Malangke.
Periode tahun 2004 sampai 2007 memperlihatkan bahwa produksi tanaman hortikultura khususnya sayuran mencapai produksi 0,47% dan 9,06 ribu ton di tahun 2004 menjadi 9,10 ribu ton di tahun 2005, kemudian meningkat lagi menjadi 9,53 ribu ton di tahun 2006 (4,69%) dan 9,94 ribu ton (4,34%). Peningkatan angka-angka produksi tersebut menunjukkan bahwa komoditas hortikultura dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian (Deptan, 2007).
Cabai merah merupakan salah satu komoditi hortikultura yang sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Di  Kecamatan Malangke  cabai merah merupakan komoditi unggulan dan harganya mengalami naik turun. Walaupun harganya mengalami perubahan tetapi permintaan akan cabai semakin meningkat terutama untuk perusahaan-perusahaan makanan.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka masalah yang timbul dalam penelitian ini yaitu :
1.    Bagaimana aspek pemasaran cabai merah di Kecamatan Malangke

1.3  Tujuan
1.    Untuk mengkaji  aspek pemasaran cabai merah di kawasan agropolitan Kecamatan Malangke.


1.4  Kegunaan Hasil Penelitian
1. Bagi petani sebagai pelaku utama : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi  dan bahan  pertimbangan dalam usahatani cabai.
2. Bagi Dinas/ Instansi Urusan Pangan diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan teknis yang berkenaan dengan pengembangan usahatani cabai.
3. Bagi pihak yang berkompeten : diharapkan dapat menjadi informasi dalam membangun koordinasi yang harmonis dalam kaitannya dengan pengembangan usaha tani cabai.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan
Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah  perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah  pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman).
Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat wilayah keseluruhan akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah.Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah  (trickle down effect) tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Urban bisa terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan  (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan  (trickle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah 13 hinterland-nya, ternyata  net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi  transfer neto sumberdaya dari wilayah  perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran (Departemen Pertanian, 2004).
Menurut Rustiadi  dan  Hadi (2004)  Strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah antara lain :
a.    Secara nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan Pembangunan KTI.
b.    Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti :
(1)    Kawasan Andalan (Kadal);
(2)    Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap Propinsi.
c.    Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti :
(1)  Kawasan Sentra Produksi (KSP);
(2)  Pengembangan kawasan perbatasan
(3)  Pengembangan kawasan tertinggal;
(4)  Proyek pengembangan ekonomi lokal.
d.    Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti :           
(1)  Perwilayahan komoditas unggulan;
(2)  Pengembangan sentra industry kecil;
(3)  Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan lainlain.
Program-program diatas sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi. Pendekatan yang masih terpusat dan masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat wilayah  perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah yang diidentifikasikan tertinggal.
Menurut, Rustiadi dan Setia (2004) Beberapa hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah :
(1)  Mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan;
(2)  Menanggulangi hubungan saling memperlemah antara  perdesaan dengan perkotaan; dan
(3)  Menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat desa itu sendiri.
Pengembangan kawasan agropolitan menekankan kepada hubungan antara kawasan perkotaan secara berjenjang.  Beberapa argumen mengemukakan bahwa pengembangan kota-kota dalam skala kecil dan menengah pada beberapa kasus justru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat  perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk  desa juga bisa dikembangkan. Jadi sebenarnya semuanya sangat tergantung pada bagaimana keterkaitannya dengan perekonomian dari kota kecil menengah bisa dikembangkan dan bagaimana keterkaitannya dengan komunitas yang lebih luas bisa diorganisasikan.
Dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan. Keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa – kota kecil – kota menengah – kota besar akan lebih dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Hanya saja keterkaitan ini pun harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdensentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan empowerment (pemberdayaan) terhadap masyarakat  perdesaan untuk mencegah kemungkinan bahwa kehadiran kota kecil menengah tersebut justru akan mempermudah kaum elit dari luar dalam melakukan eksploitasi sumberdaya. Batas pengembangan kawasan agropolitan yang optimal seperti yang telah disebutkan di atas tidak berlaku untuk seluruh daerah Indonesia.
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004) Penetapan batas pengembangan kawasan  agropolitan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
(1)  Tingkat kemajuan wilayah;
(2)  Luas wilayah;
(3)  Batas wilayah secara fungsional dalam arti melihat ciri agroklimat dan lahan, serta pengusahaan tani yang sama;
(4)  Kemajuan sumberdaya manusia/ petani. Sebagai contoh untuk wilayah-wilayah kabupaten di pulau Jawa batas pengembangan agropolitan mencakup satu wilayah kecamatan, tetapi di luar Jawa seperti Sulawesi Utara batas wilayah pengembangan agropolitan dapat berbeda.
Kawasan agropolitan yang sudah berkembang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:
a.    Peran sektor pertanian (sampai ke tingkat agro-processingnya) tetap dominan.
b.    Pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun telekomunikasi (sekitar 300 pelanggan setara dengan 300 kepala keluarga). Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk pengembangan usaha taninya sampai keaktivitas pengolahannya. Di kawasan agropolitan juga tersedia infrastruktur sosial seperti untuk pendidikan, kesehatan, sampai kepada rekreasi dan olah raga.
c.    Aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer.
d.    Mempunyai produk tata ruang yang telah dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan, sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi, 2004).

2.2  Tanaman Cabai
Menurut Rukmana (2001)  Tanaman cabai dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom          : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi               : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi          : Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas               : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo                : Tubiflorae
Famili              : Solanaceae
Genus                         : Capsicum
Species           : Capsicum annuum dan lain-lalin
Dari genus Capsicum, terdapat lebih kurang 20  – 30 spesies cabai, termasuk diantaranya lima spesies yang telah dibudidayakan. Karakteristik lima spesies cabai yang telah dibudidayakan tersebut adalah :
(1)  Capsicum annuum (Capsicum annuum var. Annuum),  cabai jenis atau spesies ini memiliki tangkai daun panjang; helai daun tunggal berbentuk ovale atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau sampai hijau tua, dengan tepi yang rata. Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama daun tunggal tersebut tersusun secara spiral.Bunga tumbuh tunggal atau kadang-kadang berkelompok pada setiap ruas. Pada saat anthesis, tangkai bunga umumnya merunduk. Setiap bunga mempunyai lima helai daun bunga dan lima atau enam helai mahkota bunga yang berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Bunga cabai mempunyai satu kepala putih (stigma), berbentuk bulat, dengan benang sari yang berjumlah enam buah.Daging buah umumnya renyah atau kadang-kadang lunak. Biji berwarna kuning  muda. Jenis cabai ini bersifat  fasciculate, yaitu sifat tanaman yang buku-bukunya memendek dan terdapat  4 – 8 bunga atau buah pada satu ruas. Jenis cabai ini memiliki jumlah kromosom 2n = 24.
(2)  Capsicum frutescens,  cabai jenis ini mempunyai tangkai daun pendek, helai daun tungal berbentul ovale, pundak lebar, berwarna hijau atau agak cokelat-keunguan dan mengkilat. Bunganya tumbuh tunggal atau kadangkadang bersifat fasciculate. Tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi dengan kuntum bunga yang merunduk. Mahkota bunga berwarna putih kehijauhijauan tanpa bintik kuning pada dasar cuping.  Calyx tidak bergelombang dan cuping bunga hampir rata. Daging buah umumnya lunak, dan posisi buah tegak ke atas. Biji berwarna kuning padi. Jumlah kromosom jenis cabai ini adalah 2n = 24.
(3)  Capsicum chinens, sifat tanaman cabai jenis ini hampir sama dengan capsicum annuum. Perbedaan hanya terletak pada sifat bunganya saja. Bunga Capsicum chinens berjumlah dua atau lebih pada setiap ruas, namun kadang-kadang tunggal, dan bersifat bunga majemuk. Tangkai bunga tegak atau merunduk saat  anthesis. Mahkota bunga berwarna putih kehijauan, kadang-kadang berwarna putih susu atau ungu, tanpa bintik kuning pada dasar cuping bunga.Pada buah matang, posisi  calyx biasanya berlekuk. Daging buah renyah. Biji berwarna kuning jerami. Jumlah kromosom cabai jenis ini adalah 2n = 24.
(4)  Capsicum baccatum (capsicum baccatum var. Pendulum, cabai jenis ini mempunyai tangkai daun yang panjang. Bunga tumbuh tunggal, tangkai bunga tegak atau merunduk saat  anthesis. Mahkota bunga berwarna putih kehijauan, terdapat bintik kuning atau hijau pada dasar cuping bunga.Pada buah matang, posisi  calyx mempunyai lekukan. Daging buah renyah, biji berwarna kuning mengkilat. Jumlah kromosom cabai jenis ini adalah 2n = 24.
(5)  Capsicum pubescens, cabai jenis ini mempunyai bunga tunggal, tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi bunga merunduk. Mahkota bunga berwarna ungu, namun ada yang berwarna putih pada ujung cuping, tanpa bintik kungin pada sarr cuping bunga. Pada buah matang, keadaan calyx tidak mepunyai lekukan. Biji berwarna hitam. Cabai jenis ini memiliki jumlah kromosom 2n = 24 (Rukmana, 2001).
Cabai merah  (Capsicum annuum, L) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang tergolong tanaman semusim.  Tanamannya berbentuk perdu dengan ketinggian antara 70 – 110 cm. Ukuran dan bentuk buah pada umumnya besar dan panjang dengan berat buah bervariasi tergantung varietasnya (Samadi, 2007).
2.3  Pemasaran
Pengertian sehari-hari arti pemasaran adalah aktfitas jual beli dalam bidang ekonomi pemasaran tidak terbatas pada kegiatan jual beli saja akan tetapi semua aktifitas ekonomi uang memungkinkan barang dan jasa bergerak dari produksen sampai ke konsumen.
Menurut Soekartawi (1993) pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produksen ke konsumen, aliran barang ini dapat terjadi karena adanya lembaga pemasaran. Sedangkan menurut Mubyarto (1994) tataniaga atau pemasaran diartikan sabagai suatu kegiatan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya pemindahan milik barang dan jasa untuk menyalurkan distiribusi dari produksen ke konsumen.
Fungsi dan peranan tataniaga atau pemasaran yaitu mengusahakan agar pembeli mempperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat. Fungsi utama dari tataniaga atau pemasaran adalah menyangkut penyimpanan, pengolahan dan pembiayaan.
Menurut gilarso (1992) funsi-fungsi pemasaran mencakup semua kegiatan yang perlu diselengarakan dalam proses memasarkan barang/jasa hingga barang tersebut sampai ketangan konsumen. Pemasaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia usaha, peranan lembaga tataniaga ini sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran yang dipasarkan atau lebih di kenal dengan istilah saluran pemasaran. Sedangkan lembaga tataniaga ini sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran yang dipasarkan atau lebih di kenal dengan istilah saluran pemasaran. Sedangkan lembaga tataniaga adalah orang, badan atau perusahaan yang terlibat dalam proses pemasaran.
Ditambahkan oleh Soekartawi (1993) mengemukakan bahwa saluran pemasaran dapat berbentuk secara sederhana dan dapat pula rumit sekali, hal demikian tergantung dari macam komonditi lembaga pemasaran dan sistem pasar (iklim pasar). Sedangkan yang dimaksud dengan saluran pemasaran adalah suaatu jalur yang dilalui oleh arus barang-barang dari produksen ke perantara dan sampai akhiranya ke tangan konsumen. Selanjutnya menurut Daniel (2004)
Tataniaga atau pemasaran memerlukan biaya, dan biaya ini makin besar dengan perkembangan pertanian maupun peternakan dan makin kompleksnya tataniaga atau pemasaran tersebut. Menurut Danil (2004) setiap kegiatan pemasaran memerlukan biaya mulai dari pengumpulan, pengangkutan, pengolahan pembayaran retribusi, bongkar muat dan lain-lain. Jadi bias disimpulkan biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran (pedagang) dalam menyalurkan hasil pertanian dari produksen ke konsumen.
Menurut Daniel (2004) margin memasaran adalah selisih antara harga yang di bayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima Produksen. margin ini akan diterima oleh lembaga niaga yang terlibat dalam proses pemasaran tersebut. Sedangkan keuntungan pemasaran adalah selisih margin pemasaran pedagang dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan selama proses mengalirnya barang (produk) dari produksen ke konsumen.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Pattimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, dan dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2012.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan secara survei berdasarkan pada metode deskripsi analisis, yaitu menggambarkan permasalahan sesuai apa adanya dan berdasarkan fakta yang baru saja berlangsung (ex post facto).
3.3  Populasi Dan Sampel
Menurut Arikunto (2002) apabila populasi kurang dari 100 orang, maka sebaiknya semua anggota terpilih, sehingga  merupakan penelitian 34 sensus. Jika jumlah populasi lebih dari 100 orang dapat diambil sampel 10, 15, 20, 25 % atau lebih dari populasi. Berhubung jumlah populasi di lokasi 190 petani,  maka jumlah populasi yang  diambil 20% dari 190 petani sehingga jumlah sampel  38 petani.
3.4  Sumber Dan Jenis Data
Adapun sumber dan jenis data yang dalam penelitian ini yaitu :
1.            Data primer yang diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan antara lain menyangkut identitas petani, seperti umur, tingkat pendidikan , jumlah tanggungan keluarga, luas lahan dan pendapatan petani.
2.            Data sekunder diperoleh dari kantor atau instansi yang terkait dan berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara, Kantor Desa Pattimang Kecamatan Malangke. Adapun jenis data yang diambil adalah : jumlah penduduk, Mata pencaharian, tinkat pendidikan, umur, jenis kelamin serta data lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
3.5  Teknik Pengambilan Data 
                Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
3.5.1   Observasi dengan metode interview/ wawancara
Pengambilan data dilakukan dengan peninjauan dan pengamatan secara langsung ke lokasi serta objek-objek yang diteliti dengan berpedoman pada kuesioner. Disamping itu dilakukan interview/ wawancara dengan cara mengajukan daftar pertanyaan langsung atau secara lesan tentang pelaksanaan usahatani kepada petani pemilik cabai. Hasilnya merupakan data primer.
3.5.2.  Pencatatan

Pengumpulan data sekunder dengan cara mencatat hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, baik yang diperoleh dari data di lapangan, dari instansi terkait, maupun dari pustaka dan pakar.

3.6 Metode Analisis Data
Adapun Analsisis data yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats) digunakan untuk mengevaluasi kesempatan dan tantangan di lingkungan Agribisnis. Untuk memudahkan dalam melaksanakan analisis SWOT diperlukan matriks SWOT. Matriks SWOT akan mempermudah merumuskan berbagai strategi yang perlu atau harus dijalankan. Dengan cara mengelompokkan masing-masing problem unsur SWOT ke dalam tabel (Kuncoro, 2006).

3.7  Defenisi OPrasional
1.    Strategi pengembangan di kawasan agropolitan
2.    Strategi pemasaran Cabai di Desa Pattimang,Kecamatan Malangke,Kabupaten Luwu Utara
3.    Proses produksi Tanaman cabai








DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Buletin. 1977. Vitamin C. Merck Service Buletin. Merck and Co. Inc. New Jersey.
Bunasor. 1997. Penelahan Usahatani dan Usaha-Usaha Pengembangan Program Bantuan dan Reboisasi. Bogor.
Purwati. 1994. Pengaruh Pelapisan Lilin pada Tomat. FP. UKSW.
Departemen Pertanian, 2004. Profil Kawasan Agropolitan Mengenal Lebih Dekat
Kawasan Agropolitan.  Pusat Pengembangan Kewirausahaan Agribisnis.
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen
Pertanian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar