Kamis, 05 Juni 2014

PROPOSAL
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KAWASAN AGRIBISNIS SAYURAN ORGANIK DI KECAMATAN LIMBONG KABUPATEN LUWU UTARA

Description: unanda
OLEH
RIKWAN
2010.12.029




PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kelembagaan petani mencakup pengelolaan sumberdaya pertanian pada kawasan agribisnis hortikultura yang berada didataran tinggi (Deptan, 2003).Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Kedepan, agar dapat berperan sebagai kelompok tani yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan harus dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kemampuan kelompok tani itu sendiri sehingga menjadi mandiri dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis. Pembentukan dan pengembangan kelompok tani disetiap desa juga harus menggunakan prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak tumbuh (Kedi Suradisastra, 2008; Syahyuti, 2007).
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa. Kelompok tani juga dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan gender. Pengembangan kelompok tani dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan petani dalam mengakses berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi  pertanian serta terhadap sumber informasi (Saptana, Saktyanu, Sri Wahyuni, Ening dan Valeriana Darwis, 2004). Sedangkan menurut di Suradisastra, Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal dan vertikal.
Berbagai kesalahan dalam pengembangan kelembagaan selama ini yaitu hampir tiap program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat pedesaan membentuk satu kelembagaan yang baru. Sebagian besar kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan mendistribusikan bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat secara nyata. Setiap program membuat satu organisasi yang baru dengan nama yang khas, jarang sekali program dari dinas tertentu menggunakan kelompok yang sudah ada. Pengembangan kelembagaan hanya dengan dukungan material yang cukup tapi tidak dibina bagaimana mengelolanya dengan manajemen yang baik. Walaupun kelembagaan telah dijadikan alat yang penting dalam menjalankan suatu program, namun penggunaan strategi pengembangan kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan (Uphoff, 1986; Syahyuti, 2003).
Secara konseptual tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal ataupun ganda. Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak lembaga pedesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, diantaranya adalah kelompok tani, koperasi dan kelompok usaha agribisnis. Secara konseptual masing-masing dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih). Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian pedesaan tidak akan keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk dan obat-obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi dan teknologi serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian (Syahyuti, 2008; F. Kasijadi,A. Suryadi dan Suwono, 2003).
Kawasan menunjuk pada suatu wilayah yang merupakan sentra (pusat), dapat berupa sentra produksi, perdagangan maupun sentra konsumsi. Dengan demikian kawasan sentra produksi sayuran adalah suatu kawasan pusat kegiatan produksi sayuran dalam suatu unit wilayah tertentu yang memiliki karakteristik yang relatif sama, dan memiliki kelengkapan infrastruktur dan sistem yang menunjang kegiatan produksi sayuran (Saptana,Saktyanu, Sri Wahyuni, Ening dan Valeriana Darwis, 2004).
Sistem Agribisnis yang lengkap merupakan suatu gugusan industri ynag terdiri dari empat subsistem yaitu subsistem agribisnis hulu yakni industri sarana produksi (industri benih, pupuk, pestisida dan indutri alsintan), subsistem budidaya (on-farm) yang menghasilkan komoditas pertanian primer, subsistem agribisnis hulu yaitu pengolahan hasil baik menghjasilkan produk antara maupun produk akhir, subsistem pemasaran yaitu pendistribusian produk dari sentra produksi ke sentra konsumsi, subsistem jasa penunjang yaitu dukungan sarana dan prasarana serta lingkungan yang mendukung pengembangan agribisnis (Sudaryanto dan Pasandaran, 1993; dan Ditjerhot, 2001).
Dalam pengembangan kawasan agribisnis ada 4 masalah yang dihadapi yaitu penurunan harga dengan cepat dan sempurna kepada petani,sedangkan kenaikan harga lambat dan tidak sempurna; informasi pasar yang monopolistik pada agribisnis hilir; IPTEK dari agribisnis hilir tidak ditransmisikan ke agribisnis hulu (petani); Modal investasi yang relatif banyak di agribisnis hilir tidak disalurkan dengan baik, bahkan cenderung digunakan untuk mengeksploitasi agribisnis hulu (Simatupang, 1995).
Keberhasilan pengembangan agribisnis sayuran tergantung kepada keterpaduan antara program dan kesiapan kelembagaannya. Ada tiga bentuk kelembagaan yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional, kelembagaan pasar, kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan ditingkat publik (Etzioni, 1991;Uphoff, 1992).
Kabupaten Luwu Utara tepatnya di Kecamatan Limbong merupakan daerah yang terletak pada dataran tinggi. Sehingga sangat cocok untuk pengembangan usaha pertanian. Pengembangan pertanian bertujuan untuk kesejahteraan petani dan keluarganya dalam berusaha tani dengan melakukan agribisnis pertanian sayuran organik yang tangguh dan profesional serta berwawasan lingkungan (Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, 2010).
Kabupaten Luwu Utara merupakan daerah yang memiliki potensi berupa lahan kering, sawah dan perikanan. Khusus di Kecamatan Limbong, kawasan ini sangat cocok ditanami sayur-sayuran karena memiliki keunggulan komparatif, dan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara telah menetapkan menjadi suatu Kawasan Pusat Pengembangan Agribisnis Sayuran Organik (KASO), dalam pelaksanaannya pembinaan dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara dan Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan
Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak tumbuh (Kedi Suradisastra, 2008; Syahyuti, 2007; Bank Dunia, 2005)
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
 Pada tahun 2002 bahwa untuk kelancaran pelaksanaa kegiatan Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Organik (KASO), Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara menetapkan kelompok tani “ Sipakatau” sebagai pelaksana kegiatan tersebut.
Komoditas yang  diusahakan adalah kubis, brokoli, kol bunga, wortel, selada, sawi, cabe, bawang daun, lobak. Produk sayuran dengan sistem organik ini memiliki keunggulan-keunggulan yaitu diantaranya ramah lingkungan dan memiliki kadar mutu kesehatan yang lebih baik dari sayuran produksi non organik dan harga jual sayuran organik lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran non organik (Pracaya, 2003).
 Menurut Perhepi (1989), menyatakan salah satu hambatan dalam pengembangan agribisnis di Indonesia yaitu sistem kelembagaan, terutama di pedesaan terasa masih lemah sehingga kondisi ini menyebabkan kurang mendukung kegiatan agribisnis      
1.2  Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian ini. Dari perumusan masalah diatas, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.    Apa saja permasalahan kegiatan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di Kecamatan Limbong.
2.    Bagaimana strategi pengembangan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di Kecamatan Limbong.
1.3 Tujuan Penelitian
              Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.    Mengetahui permasalahan kegiatan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di Kecamatan Limbong
2.    Menganalisis strategi pengembangan kelompok tani Sipakatau dalam mendukung  pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di Limbong

1.4 Manfaat Penelitian
            Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan hasilnya dapat berguna dan bermanfaat untuk :
          1. Bagi petani, yaitu sebagai masukan dan informasi sehingga dapat   membantu dalam menghadapi masalah sehubungan dengan pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis.
          2. Bagi pemerintah, yaitu sebagai masukan, gambaran dan pertimbangan mengenai pengembangan kelompok tani dan masalah yang dihadapi kelompok tani, sehingga membantu dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian yang lebih berpihak pada petani.
          3. Bagi penulis sendiri yaitu dapat meningkatkan pemahaman mengenai pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis dan bagi mahasiswa lain dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian tentang kasus ini.

 

 

 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Konsep Strategi
Dalam Artikel Michail Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard Business Review (1996) Istilah strategi tidak asing dalam percakapan sehari-hari. Kita mempunyai pengertian tersendiri ketika membaca kata ini dalam sebuah tulisan atau mendengarnya dalam percakapan seseorang. Strategi sebagai penentu tujuan jangka panjang, program kerja dan alokasi sumberdaya.Dalam  dimensi ini, strategi merupakan cara untuk secara eksplisit menentukan tujuan jangka panjang, sasaran-sasaran organisasi, program kerja yang dibutuhkan untu mencapai tujuan, dan alokasi sumberdaya yang diperlukan.
 a. Strategi penentu aspek keunggulan organisasi, disini strategi dijadikan power yang efektif untuk menentukan segmentasi produk dan pasar. Segmentasi itu mencakup baik penentuan customer maupun pengenalan tentang competitor yang dihadapi.
 b. Strategi sebagai penentu tugas manajerial. Dimensi ini memperlihatkan perspektif organisasi sebagai korporasi, bisnis, dan fungsi-fungsi. Ketiga perspektif ini harus dilihat secara holistik dengan tetap memperhatikan perbedaan tugas manajerial masing-masing perspektif.
             c. Strategi sebagai pola pengambilan keputusan yang saling mengikat. Disini strategi dilihat sebagai pola pengambilan keputusan berdasarkan masa lampau yang mungkin ikut menentukan apa yang harus dilakukan dimasa depan.
d. Strategi sebagai upaya mengalokasikan sumberdaya untuk mengembangkan keunggulan berdaya saing yang berkesinambungan. Disini kompetensi inti terkait erat dengan sumberdaya organisasi.

2.2  Konsep Kelembagaan Kelompok Tani

Kelembagaan dan Organisasi adalah berbeda, kelembagaan adalah sesuatu yang berada diatas petani, sedangkan organisasi berada dilevel petani, sebagaimana yang dianut kalangan ahli “ekonomi Kelembagaan “. Menurut North (2005) institution adalah the rule of the game, sedangkan organization adalah “their enterpreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005) yang berpendapat bahwa ”institution determine social organization”. Jadi kelembagaan merupakan wadah tempat-tempat organisasi hidup.
Upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya adalah pengembangan kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan peningkatan kemampuan kelompok-kelompok petani kecil (Kartasasmita, 1997 : 31-32).
Pada dasarnya pengertian kelompok tani tidak bisa dilepaskan dari pengertian kelompok itu sendiri. Menurut Sherif dan Sherif (Catrwright dan Zander, 1968) kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu yang satu dengan individu lainnya, mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya, mempunyai norma yang mengatur tingkah laku anggota kelompok itu.
Kelompok pada dasarnya adalah gabungan dua orang atau lebih yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, dimana interaksi yang terjadi bersifat relatif tetap dan mempunyai struktur tertentu. Menurut Polak (1976) maksud struktur sebuah kelompok adalah susunan dari pola antar hubungan intern yang agak stabil, yang terdiri atas :
(1)    suatu rangkaian status-status atau kedudukan-kedudukan para anggotanya yang hirarkhis,
(2)    peranan-peranan sosial yang berkaitan dengan status-status itu,
(3)    unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai, norma-norma, model) yang mempertahankan, membenarkan dan mengagungkan struktur.
Menurut Soekanto (1986) ada beberapa hal yang harus menjadi ciri kelompok, yaitu : setiap anggota kelompok harus sadar sebagai bagian dari kelompok, ada hubungan timbal balik antara sesama anggota dan terdapat suatu faktor yang dimiliki mbersama oleh para anggota sehingga hubungan diantara mereka semakin kuat.
Perry dan Perry (Rusdi, 1987) mengemukakan bahwa yang menjadi ciri-ciri suatu kelompok adalah :
(1)      ada interaksi antar anggota yang berlangsung secara kontinyu untuk waktu yang relatif lama,
(2)      setiap anggota menyadari bahwa ia merupakan bagian dari kelompok, dan sebaliknya kelompoknyapun mengakuinya sebagai anggota,
(3)      adanya kesepakatan bersama antar anggota mengenai norma-norma yang berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan yang akan dicapai,
(4)      adanya struktur dalam kelompok, dalam arti para anggota mengetahui adanya hubungan-hubungan antar peranan, norma tugas, hak dan kewajiban yang semuanya tumbuh didalam kelompom itu.
Menurut Bappenas (2004), Dalam rangka pemberdayaan (penguatan) petani sebagai salah satu pelaku agribisnis hortikultura, maka perlu menumbuh kembangkan kelompok tani yang mandiri dan berwawasan agribisnis. Penguatan kelembagaan ditingkat petani meliputi kelompok tani, asosiasi, himpunan, koperasi, merupakan hal yang perlu segera dikembangkan secara dinamis guna meningkatkan profesionalisme dan posisi tawar petani.
1)    Penumbuhan Kelompok tani
a)    Menumbuhkan kelompok tani baik dari kelompok yang sudah ada ataupun dari petani dalam satu wilayah.
b)    Membimbing dan mengembangkan kelompok berdasarkan kepentingan usaha tani kelompok.
c)    Mengorganisasikan petani dalam kelompok.
d)    Menjalin kerjasama antar individu petani didalam satu kelompok


2)    Peningkatan Kemampuan Kelompok tani
a)    Meningkatkan kemampuan kelompok tani melalui peningkatan kualitas dan produktivitas SDM, meningkatkan managerial dan kepemimpinan kelompok.
b)    Mengembangkan fungsi kelompok tani menjadi kelompok usaha/ koperasi.
c)    Mengembangkan organisasi kelompok ke bentuk yang lebih besar, seperti Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Asosiasi.
3)    Mengembangkan Kemitraan Usaha
a)    Mengembangkan kemitraan usaha agribisnis antara kelompok on-farm dengan kelompok off-farm.
b)    Meningkatkan nilai tambah ekonomis produk melalui kerjasama usaha antara pelaku agribisnis.
c)    Memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan adanya pelaku kemitraan (petani, kelompok tani, pengusaha, dan pemerintah; Adanya kebutuhan dan kepentingan bersama dari pelaku-pelaku agribisnis; Adanya kerjasama dan kemitraan yang seimbang dan saling menguntungkan.
Organisasi atau kelembagaan petani diakui sangat penting untuk pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang seperti Indonesia. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungna masih lemahnya organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya (Vahn den Ban dan Hawkins, 1999: 265).
Bunch (1991: 270-271) menegaskan pembangunan lembaga tidak sekadar memindahkan kerangka organisasi tetapi juga hgarus memberikan “perasaan” tertentu, ciri-ciri masyarakat, perassan, keterampilan, sikap dan sikap moral merupakan darah dan daging suatu lembaga.

2.3 Konsep Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak, ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.
1)    Perangsang pembangunan pertanian
Ø  Adanya rencana pembangunan yang memberi prioritas pada pembangunan pertanian.
Ø  Adanya kebijakan-kebijakan khusus seperti kebijakan harga minimum (floor price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha pembangunan
2)    Faktor-faktor fisik dan sosial
Ø  Tersedianya secara lokal kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Ø  Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit dengan persyaratan yang tidak berat.
Ø  Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi, politik, tehnologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun, setidaknya (seperti Indonesia) bisa belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam  “ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.

2.4  Konsep Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura
Definisi yang lebih lengkap mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus awal istilah agribisnis yaitu Davis dan Goldberg (1957) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production activities on the farm; and storage, processing and distribution of commodities and items made from them“. Definisi inilah yang sekarang sering digunakan dalam literatur manajemen agribisnis (Sonka dan Hudson 1989).
Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan penunjang. Menurut Saragih dalam Pasaribu (1999), batasan agribisnis adalah sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi (yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, susbistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung dengan pertanian.
Agribisnis diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan : (1) pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri. Sektor pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional (Sumodiningrat, 2000).
Menurut Anonimous ( 2000 ), yang dimaksud dengan Sistem Agribisnis adalah rangkaian dari berbagai sub sistem penyelesaian prasarana dan sarana produksi, subsistem budidaya yang menghasilkan produk primer, sub sistem industri pengolahan    (agroindustri), sub sistem pemasaran dan distribusi serta sub sistem jasa pendukung. Bagi Indoensia pengembangan usaha pertanian cukup prospektif karena memiliki kondisi yang menguntungkan antara lain; berada di daerah tropis yang subur, keadaan sarana prasarana cukup mendukung serta adanya kemauan politik pemerintah untuk menampilkan sektor pertanian sebagai prioritas dalam pembangunan. Tujuan pembangunan agribisnis adalah untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta mengembangkan kemitraan usaha. Dengan visi mewujudkan kemampuan berkompetisi merespon dinamika perubahan pasar dan pesaing, serta mampu ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Departemen Pertanian (2005), komoditas hortikultura merupakan sangat prospektif, baik untuk mengisi kebutuhan pasar domestik maupun internasional mengingat potensi permintaan pasarnya baik di dalam maupun di luar negeri besar dan nilai ekonominya yang tinggi. Dengan kemajuan perekonomian, pendidikan, peningkatan pemenuhan untuk kesehatan dan lingkungan menyebabkan permintaan produk hortikultura semakin meningkat.  Disamping itu keragaman karakteristik lahan dan agroklimat serta sebaran wilayah yang luas memungkinkan wilayah Indonesia digunakan untuk pengembangan hortikultura tropis dan sub tropis. Fungsi utama tanaman hortikultura bukan hanya sebagai bahan pangan tetapi juga terkait dengan kesehatan dan lingkungan. Secara fungsi ini sederhana dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu :
  • Fungsi Penyediaan Pangan, terutama dalam hal penyediaan vitamin, mineral, serat, energi dan senyawa lain untuk pemenuhan gizi.
  • Fungsi Ekonomi, pada umumnya komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sumber pendapatan cash petani, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain.
  • Fungsi Kesehatan, bahwa buah dan sayur dan terutama biofarm maka dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit tidak menular.
  • Fungsi Sosial Budaya, sebagai unsur keindahan/kenyamanan lingkungan, upacara-upacara, pariwisata dan lain-lain.
Usaha kegiatan tanaman hortikultura adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual / ditukar atau memperoleh pendapatan / keuntungan atas resiko usaha ( Badan Pusat Statistik, 2003).
Pembangunan pertanian yang ada selama ini dengan pendekatan kewilayahan dan peningkatan partisipasi masyarakat daerah setempat, khususnya untuk program tanaman pangan dan hortikultura. Mendesaknya kepentingan pembangunan dan perancangan ulang program ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, program tanaman pangan dan hortikultura adalah merupakan tempat penyerapan tenaga kerja terbesar dalam sistem pembangunan nasional, sedemikian hingga setiap peningkatan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura secara otomatis juga akan membantu mengatasi masalah pengangguran. Kedua, program tanaman pangan dan hortikultura masih merupakan penopang utama dalam sistem perekonomian nasional, khususnya dalam memproduksi makanan pokok, sehingga mengurangi ketergantungan pangan kepada dunia luar. Ketiga, harga produk tanaman pangan dan hortikultura memiliki bobot yang besar dalam penentuan indeks harga konsumen, sehingga sifat dinamikanya sangat berpengaruh dalam menekan laju inflasi, yang oleh karenanya pembangunan pertanian ini akan membantu memantapkan stabilitas ekonomi nasional. Keempat, Peningkatan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura ini bisa berperan penting dalam mendorong sektor industri dan ekspor, serta mengurangi impor produk tanaman pangan dan hortikultura yang pada gilirannya akan memantapkan neraca pembayaran. Kenyataan betapa pentingnya pembangunan tanaman pangan dan hortikultura tersebut diatas telah disadari sepenuhnya oleh pemerintah yang melihat bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan sektor pertanian dimasa mendatang mutlak memerlukan reorientasi pemikiran dalam pelaksanaannya (Bappenas, 2004).
Pembangunan pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan dan hortikultura, diarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan yang tidak hanya bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, tapi lebih berwawasan kepada peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan prioritas utama kepada produksi, pelestarian sumberdaya dan swasembada pangan, serta agribisnis yang berwawasan lingkungan.
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan agribisnis karena :
1. Memiliki lahan yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan yang disebut komoditi unggulan.
2. Memiliki pasar, baik itu pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian maupun pasar jasa pelayanan.
3. Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang dinamis dan terbuka padsa inovasi baru, yang harus berfungsi juga sebagai sentra pembelajaran dan pengembanagn agribisnis.
4. Memiliki Balai Penyulukan Pertanian yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnsis (KKA) yaitu sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan (Deptan, 2002).

2.5 Konsep Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan adalah pembangunan pertanian yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan beberapa elemen-elemen seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan, pelaksanaan reformasi agraria, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan petani serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa dan kota (Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk menggerakkan dan membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1). Adanya pasar untuk hasil usaha tani.
2). Teknologi yang senatiasa berkembang
3). Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal
4). Adanya perangsang produksi bagi petani
5). Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak, ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.
Perangsang pembangunan pertanian diantaranya : Adanya rencana pembangunan yang memberi prioritas pada pembangunan pertanian Adanya kebijakan-kebijakan khusus seperti kebijakan harga minimum (floor price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif, perlombaan dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan, pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa baik mengenai teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan lainnya yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha pembangunan
Faktor-faktor fisik dan sosial diantaranya : Tersedianya secara lokal kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan. Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit dengan persyaratan yang tidak berat. Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan mutu pengurus koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model pembangunan pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang berkembang di dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kas dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi, politik, teknologi dan kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model pembangunan pertanian dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun, setidaknya (seperti Indonesia) bisa belajar dari Taiwan tentang “ cara-cara mengatur organisasi pertaniannya”, dari Jepang dalam “ merangsang kerja petani ”, dari Thailand dalam “ pembangunan jalan-jalan oleh negara “ dan dari India dalam  “ kegiatan-kegiatan penelitiannya “.

2.6 Konsep Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan‑bahan organik (Pracaya, 2002). Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai sistern pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti pendaur ulangan unsur hara dan bahan‑bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA dalam Dimyati, 2002). Sedangkan pengertian organik menurut FAOI adalah suatu sistem manajemen yang holistik yang mempromosikan dan meningkatkan pendekatan sistem pertanian berwawasan kesehatan lingkungan, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Dalam pengertian ini ditekankan pada preferensi penerapan input of farm dalam manajemen dengan memperhatikan kondisi regional yang sesuai.
Pertanian organik didasarkan pada prinsip‑prinsip IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) 2005 : prinsip kesehatan, ekologi, keadilan dan pelindungan. Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Keadilan memedukan sistern produksi, dtstribusi dan perdagangan yang terbuka, adil dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenamya.
Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia yang tertuang  dalarn SNI 01‑6729‑2002 (BSN, 2002). SNI sistem pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya  juga harus diakreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi). SNI sistern pangan organik diadopsi dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32 ‑ 1999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organikally produced food dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak mungkin mereka mendapatkan label  sertifikasi dad suatu lembaga sertifikasi asing maupun dalam negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi lahannya. Satu‑satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan demikian mereka  dapat membiayai sertifikasi usaha tani mereka secara gotong royong. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka (Husnain et al., 2005).
Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan menerapkan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik.
Pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.
            Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah : 1) pemanfaatan sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam, 2) proses produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat, 3) penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah), 4) produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar merupakan acuan dalam agribisnis hortikultura ini.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat lambat. Namun minat bertani dengan sistem organik akhir-akhir ini sudah mulai tumbuh. Hal ini diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan petanian organik yang waktu-waktu yang akan datang.
Kendala-kendala dalam pengembangan pertanian organik yang bersifat makro antara lain peluang pasar, penelitian dan pengembangan, dan kondisi iklim.
Sejak dua dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia terhadap produk pertanian organik mulai tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di Eropa, merupakan salah satu pertimbangan utama dalam pemberlakuan Council Regulation (EEC) No. 2092/91 (EEC, 1991).
Disamping kendala pasar, program penelitian dan pengembangan yang mendukung ke arah pengembangan sistem pertanian organik di Indonesia pada komoditas lain masih belum banyak dilakukan, sehingga pengembangan agribisnis di sektor organik masih terbatas. Berdasarkan pengalaman pada komoditas kopi tersebut di atas, dukungan penelitian sangat diperlukan agar pengembangan agribisnis di sektor organik dapat berhasil dengan baik.
Kendala lainnya adalah Indonesia memiliki iklim tropika basah, bahkan di beberapa tempat tidak memiliki atau sedikit sekali periode kering. Kondisi iklim seperti ini menguntungkan untuk jasad penganggu, khususnya jamur. Intensitas serangan jasad penggangu yang tinggi akan lebih menyulitkan dalam praktek penerapan pertanian orgnik.
Kendala mikro yang dimaksud  adalah kendala yang dijumpai di tingkat usaha tani, khususnya petani kecil. Minat produsen, pada pelaku usaha pertanian di Indonesia belum banyak yang beminat untuk betani organik. Minat pelaku usaha untuk mempraktekkan pertanian petanian organik ini akan meningkat apabila pasar domestik dapat ditumbuhkan. Pemahaman kurang, pemahaman para petani terhadap sistem pertanian organik masih sangat kurang. Pertanian organik sering dipahami sebatas pada praktek pertanian yang tidak menggunakan pupuk anorganik dan pestisida.
Pengertian tentang sistem pertanian organik yang benar perlu disebarluaskan pada masyarakat. Pengertian tersebut meliputi filosofi, tujuan, penerapan, perdagangan, dan lain-lain. Sebagai acuan untuk penyebarluasan pengertian pertanian organik sebaiknya menggunakan standar dasar yang dirumuskan oleh IFOAM.                    .
          Organisasi di tingkat petani, Organisasi di tingkat petani merupakan kunci penting dalam budidaya pertanian organik. Hal ini terkait dengan masalah penyuluhan dan sertifikasi. Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil akan sulit diwujudknan tanpa dukungan kelompok tani.
Di beberapa daerah organisasi petani sudah terbentuk dengan baik, tetapi sebaiknya di daerah-daerah lain organisasi pertani masih sulit diwujudkan.
Kemitraan petani dan pengusaha, upaya membentuk hubungan kemitraan antara petani dan pengusaha yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu yang masih belum memberikan hasil seperti yang diharapkan petani.









BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Waktu Dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu dimulai bulan Desember 2009 sampai bulan Januari 2009 terhitung sejak dikeluarkannya surat turun penelitian dari Fakultas Pertanian Universitas Andi Djemma.
Adapun lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Limbong Kabupaten Luwu Utara yaitu secara purposive atau sengaja karena kelompok tani pambalahan  merupakan salah satu sentra penghasil  sayuran di Sumatera Barat. Selain itu didaerah ini, pemerintah melaksanakan Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Organik (KASO).

3.2 Populasi Dan Sampel
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini  yaitu Kelompok tani Sipakatau. Karena kelompok tani  Sipakatau merupakan satu-satunya kelompok tani yang sudah menerapkan pertanian organik
            Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sensus yaitu semua petani yang termasuk kedalam kelompok tani Pambalahan. Karena kelompok tani  Pambalahan merupakan satu-satunya kelompok tani yang sudah menerapkan pertanian organik di Kecamatan Limbong dengan jumlah petani 40 orang yang melakukan usahatani kubis.
3.3 Metode Pengumpulan Data
           Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan informan kunci (key informan) secara mendalam dengan bantuan pengisian daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini untuk kelompok tani Sipakatau.
Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan diperoleh dari lembaga atau instansi yang berhubungan dengan penelitian ini seperti dinas pertanian, BPP (Balai Penyuluh Pertanian), serta literatur-literatur yang relevan seperti buku-buku, jurnal penelitian internet dan laporan-laporan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Metode Analisa Data
Analisa data untuk tujuan pertama yaitu Mendeskripsikan masalah kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik dianalisa dengan analisa deskriptif kualitatif, dimana dalam penelitian ini akan dibahas permasalahan yang dialami oleh petani antara lain : masalah teknis, masalah sosial dan masalah ekonomi
Untuk tujuan kedua yaitu Menganalisis strategi pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis di Kecamatan Limbong digunakan analisa SWOT. Analisa SWOT yang memuat variabel faktor internal yang meliputi aspek yang menjadi kekuatan dan kelemahan, serta variabel faktor eksternal yang meliputi aspek yang menjadi peluang dan ancaman.Dari analisa SWOT yang dilakukan ini, maka diharapkan segala kemungkinan yang menguntungkan dan merugikan, baik berasal dari dalam atau dari luar sehubungan dengan pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis ini, akan dapat diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya.

3.5 Definisi Operasional
Dari kerangka teori, konsep dan kerangka yang telah disajikan pada bagian tinjauan pustaka, maka penelitian ini menggunakan defenisi oprasional agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Adapun defenisi itu adalah sebagai berikut
1. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal dan vertikal.
2. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi masyarakat pertanian di kawasan agropolitan. Dimana terdapatnya kegiatan belajar mengajar dalam perubahan sikap, keterampilan, dan perilaku masyarakat tani di kawasan agribisnis. Dalam proses pembelajaran, dilengkapi dengan penyuluh sebagai pengajar, materi yang disampaikan, media yang digunakan, dan sasaran (petani) sebagai orang yang disuluh.
3. Tanaman hortikultura adalah berbagai jenis tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan yang diusahakan oleh petani di kawasan agribisnis. Adapun jenis tanaman hortikultura yang banyak diusahakan adalah sayuran dataran tinggi seperti wortel, sawi, cabe, kubis, kol, kentang, daun bawang, seledri, dan lain sebagainya.
4. Pasar hasil pertanian adalah sarana penampungan dan pemasaran hasil pertanian masyarakat di kawasan Agribisnis Kecamatan Limbong seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) yang dilengkapi dengan pasar lelang, gudang penyimpanan (cold storage), sarana pencucian, sortasi dan prossesing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
6. Partisipasi adalah peran serta / inisiatif masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, yaitu meliputi pada perencanaan kegiatan sampai pada mengevaluasi dan menikmati hasil kerja. Partisipasi masyarakat seperti dalam penentuan usulan kegiatan, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
7. Lembaga pertanian adalah lembaga / organisasi petani yang mengelola setiap kegiatan usaha tani baik yang bersifat formal maupun informal seperti BPP, kelompok tani / gapoktan, P3A, Koperasi, dan lain sebagainya.











DAFTAR PUSTAKA

Artikel Michail Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard Business Review November-Desember 1996.
Bappenas. 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan Untuk Percepatan Pembangunan Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal.
Dinas Pertanian. 2007. Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Limbong Kabupaten Luwu Utara.
Indraningsih, Kurnia, Suci, Ashari dan Supena Friyatno. 2005. Strategi Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Bali. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.
Kedi Suradisastra. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepetan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Volume 4 No 4 Desember 2006.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian . Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sadikin,Ikin, Rita Nur Suhaeti, dan Kedi Suradisastra. 1999. Kajian Kelembagaan Agribisnis Dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berbasis Agroekosistem. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian.
Sapja Anantanyu. 2004. Gambaran Kemiskinan Petani dan Alternatif Pemecahannya. MK Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702).
Saptana, Saktyanu KD, Sri Wahyuni, Ening Ariningsih dan Valeriana Darwis. 2004. Integrasi Kelembagaan Forum KASS dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Volume 2 No3 September 2004.
Saptana, Sunarsih, Kurenia Suci Indraningsih. 2005. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.
Sry Wahyuni. 2007. Integrasi Kelembagaan di Tingkat Petani : Optimalisasi Kinerja Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi.Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani 10 Juni 2009.

Suradisastra, Kedi. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 26 No 2 Desember 2008.
Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.
Van Den Ban.A.W dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian.
Kanisius .Yogyakarta.
Yudhoyono, S. Bambang, 2006, Pembangunan Pertanian Indonesia dari Revolusi Hijau ke Pertanian Berkelanjutan, Orasi Ilmiah di Universitas Andalas Padang Tanggal 21 September 2006
Yunasaf, Unang. 2005. Kepemimpinan Ketua Kelompok dan Hubungannya dengan Keefektifan Kelompok.

Yusmaini. 2009. Kesiapan Teknologi Mendukung Peretanian Organik Tanaman Obat : Kasus Jahe.

1 komentar: